Selasa, 01 April 2014

PERAWAT dan POLITIK



Masuk bulan April tahun 2014 ini menjadi bulan yang cukup hot untuk kita. Bukan hanya karena sudah mulai jarang turun hujan tapi atmosfer di masyarakat kita memang sedang memanas. Apalagi kalau bukan pemilu legislatif  yang akan di selenggarakan tanggal 9 April 2014 kelak. Pada masa orde baru saya mengenal pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat. Entah itu hanya selogan atau memang benar. Sekarang melihat pemilu hanya seperti proses percaloan pemangku kekuasaan yang diikuti dengan adegan yang saya rasa tidak menunjukan sisi cinta lingkungan. Sebatas pemikiran pribadi tentang pamflet yang menghabiskan berlembar – lembar kertas dari berapa juta pohon yang tertebang. Tak urungnya hanya disimpan atau malah langsung dibuang. Atau puluhan MMT yang berselebaran di jalan. Dipaku di pohon,ditempel di tiang listrik, dengan bambu dipasang di pembatas jalan. Selain merusak keindahan juga berbahaya, seperti siang itu seorang bapak pengendara sepeda montor yang tidak sengaja jaketnya tersangkut pada bambu yang digunakan memasang MMT salah satu caleg di area jalan protocol yang cukup ramai. Bersyukur jaketnya hanya sobek dan sempat oleng sedikit padahal dibelakangnya ada truk BBM dan bus dalam kota.
Kondisi seperti ini mau tidak mau membuat kita membuka mata dan peduli pada iklim politik di negeri kita yang mulai tidak sehat. Minggu lalu saya sempat mengikuti acara deklarasi salah satu forum kemasyarakatan yang di hadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang. Menurut beliau politik, adalah jargon “kalau kumpul rasanya menggelitik”. Menurut saya tidak hanya menggelitik tapi juga bikin intrik. Mengapa demikian? Di beberapa akun media sosial yang mengaku heater tokoh X atau partai X akan mati – matian mengeluarkan data – data yang menyudutkan partai dan tokoh tersebut dan akan dibalas oleh sang simpatisan hingga tidak jarang muncul percikan – percikan emosi dalam deretan kata yang tertulis dalam komentar atau twit nya. Dan setelah dibaca serasa nonton debat politik atau ILC (salah satu acara yang sedang ramai diperbincangkan sekaligus memiliki saingan ILK).
Diluar kondisi tersebut dari salah satu akun yang beranggotakan puluhan ribu perawat di situs FB saya mendapatkan info ada beberapa perawat yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
1.       Dr. H. Djauhari, MM / Demokrat/ Dapil Sumsel 1/No 2
2.      Afri Sunadi M.Kep.,SpKMB / PDIP/ Dapil Bengkulu/ No 4
3.      Prof. Achir Yani S Hamid, DN., MNSc / PDIP / Dapil Lampung 1/ No 3
4.      H. Jamaludin, S.Kep., Mkep / PKB/ Jabar VII/ No 9
5.      H. Syarif Hidayat, MSi/ PAN/ Jabar XI/ No 4
6.      Nurmala Manurung, SKM/ PKPI / Sumut 1/ No 3
7.      Irfan Soritua Hasibuan, AMK/ PKB/ Sumut 2/ No 5
8.      Kristina Everentia Ngasu, S.E., S.Kep.,Ners/Nasdem/ NTT 1/ No 5
9.      Nova Maulidiya, S.Kep/ PKB/ Aceh 2 / No 6
10.  Rina Susanti, SKM / Nasdem/ Jambi/ No 6
11.  Tati, AMK/ Demokrat/ Jateng 9/ No 8
12.   H. Sutomo, SPd., M.Kes/ Golkar/ Jateng V/ No 6
(Masih ada nama – nama lain yang belum tercatat, maaf karena belum sempat merangkum)
Ada rasa bangga, karena akhirnya profesi ini berkembang. Melihat profesi tetangga yang sudah dari dulu banyak terlibat di ranah politik dan pemerintahan. Sedang profesi ini, perawat masih sibuk dengan pasien dan administratifa lain dipelayanan klinik. Hanya mengira – ira apakah memang pendidikan perawat di negeri ini dulu sengaja dihamabt agar posisinya tetap di bagian vokasional sehingga tidak bisa menyentuh ranah politik yang maha agung.
Terbersit juga rasa takut, mengingat godaan di gedung legistatif sana (baik kota, provinsi terlebih nasional) sungguh amat berat. Setiap kebijakan tidak serta merta di bahas dan disetujui demi kemaslatan rakyat. Selalu ada tendensi dan perhitungan untung rugi dalam setiap kebijakan dan keputusan yang diambil. Terkuaknya berbagai skandal juga menjadikan hati ini prihatin. Berharap para senior sejawat yang kelak menjadi anggota legislatif tidak terjerat dalam lingkaran setan yang sudah menelan banyak korban.
Melihat kenyataan ini sudah seharusnya kita (PERAWAT) sekarang melek politik. Sadar diri dan tahu sejauh mana posisi kita dapat menyentuh di ranah hokum. Apapun alasan dari rekan – rekan sejawat yang mengambil jalur politik. Setidaknya mereka punya keinginan sebagai wujud nyata dalam menge-goal kan RUU Keperawatan. Meskipun di grass area masih banyak perawat yang ragu dan belum sepaham tentang esensi Undang – Undang Keperawatan bagi profesinya. Banyak respon pesimistik dari rekan – rekan sejawat bahkan adanya perbedaan pandangan antara rekan – rekan di area akademisi dengan rekan – rekan di area klinis. Ini kelemahan profesi kita, karena sistem membuat kita terpisah. Berbeda hal nya dengan profesi tetangga dimana area akademisi berkesinambungan dengan area klinis.
Pesimistik secara pribadi maupun profesi terlihat dari beberapa rekan yang mengungkapkan tidak akan menberikan hak suaranya secara sengaja pada pemilu esok. Miris sebenarnya mendengar hal tersebut, namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan mengingat bahwa nyoblos (memberikan suara) pada pemilu adalah hak setiap warga negara. Artinya mereka berhak memilih siapa aja sekaligus berhak untuk tidak memilih siapa – siapa. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terutama legistatif pun sangat menurun. Hal ini muncul dari berbagai kritikan dari yang sopan hingga yang sangat keras di berbagai media. Ya, inilah Indonesia kata salah seorang teman saya.
Dalam sistem politik demokrasi di negeri ini pada dasarnya semua orang punya hak yang sama untuk menentukan kemana arah jalannya negara (rakyat berdaulat/berkuasa). Setiap orang punya hak untuk memimpin, membuat aturan, mengelola sumber daya alam, mengatur keuangan negara. Tetapi karena sebagian besar masih mengalami buta politik maka mereka tidak mengambil haknya. Akibatnya politik dimanfaatkan oleh orang-orang yang melek politik yang ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit. Selanjutnya kekuasaan akan dipengaruhi oleh sedikit orang. Hal ini lah yang selama ini terjadi dalam sistem profesi kita.
Sebagian dari kita terlalu sibuk mencari tambahan penghasilan karena gaji perawat yang pas – pas an. Belum lagi pasien yang menyita waktu dan tenaga kita sehingga rasanya usai jam kerja tidak ada lagi waktu untuk melakukan hal produktif lain selain istirahat dirumah dan bercengkrama dengan keluarga. Yang menjadi dosen pun terlalu sibuk dengan mengajar dan bimbingan. Sedang yang lain sudah terlalu mapan dan nyaman dengan posisinya sehingga lupa ada hal ke-profesian yang harus diperjuangkan. Maka sebagian besar dari kita (PERAWAT) hanya mampu menjadi penonton dan sumber daya yang terus diatur oleh sedikit orang yang nyatanya tidak peduli dengan perkembangan profesi ini.
Semasa kuliah saat saya ikut pendidikan politik, disampaikan bahwa politik adalah sebuah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal dalam rangka mencapai satu tujuan (lupa sumbernya darimana, maaf). Dengan pengertian semacam itu bukankah sehari – hari sebagai perawat kita berusaha mempengaruhi orang lain? Setiap hari kita berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya agar mereka mematuhi terapi untuk mencapai kesembuhan. Bukankah kita juga begitu pandai untuk melakukan penkes di masyarakat dan memotivasi mereka untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat? Dengan demikian maka tidak ada alasan lagi bagi perawat untuk tidak peduli, cuek bahkan apatis terhadap politik.

1 komentar:

  1. Bagus mba, lihat juga Lihatlah, Mereka menyabung nyawa dalam Bencana!
    Lihatlah Bu Menkes, bacalah hai wakil rakyat!!!
    http://perawatworld.blogspot.com/2014/04/ruu-dan-heroisme-perawat-indonesia.html

    BalasHapus