Masuk
bulan April tahun 2014 ini menjadi bulan yang cukup hot untuk kita. Bukan hanya karena sudah mulai jarang turun hujan
tapi atmosfer di masyarakat kita memang sedang memanas. Apalagi kalau bukan
pemilu legislatif yang akan di
selenggarakan tanggal 9 April 2014 kelak. Pada masa orde baru saya mengenal
pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat. Entah itu hanya selogan atau memang
benar. Sekarang melihat pemilu hanya seperti proses percaloan pemangku
kekuasaan yang diikuti dengan adegan yang saya rasa tidak menunjukan sisi cinta
lingkungan. Sebatas pemikiran pribadi tentang pamflet yang menghabiskan
berlembar – lembar kertas dari berapa juta pohon yang tertebang. Tak urungnya
hanya disimpan atau malah langsung dibuang. Atau puluhan MMT yang berselebaran
di jalan. Dipaku di pohon,ditempel di tiang listrik, dengan bambu dipasang di
pembatas jalan. Selain merusak keindahan juga berbahaya, seperti siang itu
seorang bapak pengendara sepeda montor yang tidak sengaja jaketnya tersangkut
pada bambu yang digunakan memasang MMT salah satu caleg di area jalan protocol yang
cukup ramai. Bersyukur jaketnya hanya sobek dan sempat oleng sedikit padahal
dibelakangnya ada truk BBM dan bus dalam kota.
Kondisi
seperti ini mau tidak mau membuat kita membuka mata dan peduli pada iklim
politik di negeri kita yang mulai tidak sehat. Minggu lalu saya sempat mengikuti
acara deklarasi salah satu forum kemasyarakatan yang di hadiri oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Menurut beliau politik, adalah jargon “kalau
kumpul rasanya menggelitik”. Menurut saya tidak hanya menggelitik tapi juga
bikin intrik. Mengapa demikian? Di beberapa akun media sosial yang mengaku
heater tokoh X atau partai X akan mati – matian mengeluarkan data – data yang
menyudutkan partai dan tokoh tersebut dan akan dibalas oleh sang simpatisan
hingga tidak jarang muncul percikan – percikan emosi dalam deretan kata yang
tertulis dalam komentar atau twit nya. Dan setelah dibaca serasa nonton debat
politik atau ILC (salah satu acara yang sedang ramai diperbincangkan sekaligus
memiliki saingan ILK).
Diluar
kondisi tersebut dari salah satu akun yang beranggotakan puluhan ribu perawat di
situs FB saya mendapatkan info ada beberapa perawat yang mencalonkan diri
menjadi anggota legislatif.
1.
Dr. H. Djauhari, MM / Demokrat/ Dapil Sumsel
1/No 2
2. Afri Sunadi M.Kep.,SpKMB /
PDIP/ Dapil Bengkulu/ No 4
3. Prof.
Achir
Yani S Hamid, DN., MNSc / PDIP / Dapil Lampung 1/ No 3
4. H. Jamaludin, S.Kep., Mkep / PKB/ Jabar VII/ No 9
5. H. Syarif Hidayat, MSi/ PAN/ Jabar XI/ No 4
6. Nurmala Manurung, SKM/ PKPI / Sumut 1/ No 3
7. Irfan Soritua Hasibuan, AMK/ PKB/ Sumut 2/ No 5
8. Kristina Everentia Ngasu, S.E., S.Kep.,Ners/Nasdem/ NTT
1/ No 5
9.
Nova
Maulidiya, S.Kep/ PKB/ Aceh 2 / No 6
10. Rina Susanti, SKM / Nasdem/ Jambi/ No 6
11. Tati, AMK/ Demokrat/ Jateng 9/ No 8
12. H. Sutomo, SPd.,
M.Kes/ Golkar/ Jateng V/ No 6
(Masih ada nama – nama lain yang
belum tercatat, maaf karena belum sempat merangkum)
Ada rasa bangga,
karena akhirnya profesi ini berkembang. Melihat profesi tetangga yang sudah
dari dulu banyak terlibat di ranah politik dan pemerintahan. Sedang profesi
ini, perawat masih sibuk dengan pasien dan administratifa lain dipelayanan
klinik. Hanya mengira – ira apakah memang pendidikan perawat di negeri ini dulu
sengaja dihamabt agar posisinya tetap di bagian vokasional sehingga tidak bisa
menyentuh ranah politik yang maha agung.
Terbersit
juga rasa takut, mengingat godaan di gedung legistatif sana (baik kota,
provinsi terlebih nasional) sungguh amat berat. Setiap kebijakan tidak serta
merta di bahas dan disetujui demi kemaslatan rakyat. Selalu ada tendensi dan
perhitungan untung rugi dalam setiap kebijakan dan keputusan yang diambil. Terkuaknya
berbagai skandal juga menjadikan hati ini prihatin. Berharap para senior
sejawat yang kelak menjadi anggota legislatif tidak terjerat dalam lingkaran
setan yang sudah menelan banyak korban.
Melihat
kenyataan ini sudah seharusnya kita (PERAWAT)
sekarang melek politik. Sadar diri dan tahu sejauh mana posisi kita dapat
menyentuh di ranah hokum. Apapun alasan dari rekan – rekan sejawat yang
mengambil jalur politik. Setidaknya mereka punya keinginan sebagai wujud nyata
dalam menge-goal kan RUU Keperawatan. Meskipun di grass area masih banyak perawat yang ragu dan belum sepaham tentang
esensi Undang – Undang Keperawatan bagi profesinya. Banyak respon pesimistik
dari rekan – rekan sejawat bahkan adanya perbedaan pandangan antara rekan –
rekan di area akademisi dengan rekan – rekan di area klinis. Ini kelemahan profesi
kita, karena sistem membuat kita terpisah. Berbeda hal nya dengan profesi
tetangga dimana area akademisi berkesinambungan dengan area klinis.
Pesimistik
secara pribadi maupun profesi terlihat dari beberapa rekan yang mengungkapkan
tidak akan menberikan hak suaranya secara sengaja pada pemilu esok. Miris sebenarnya
mendengar hal tersebut, namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan mengingat
bahwa nyoblos (memberikan suara) pada pemilu adalah hak setiap warga negara. Artinya
mereka berhak memilih siapa aja sekaligus berhak untuk tidak memilih siapa –
siapa. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terutama legistatif
pun sangat menurun. Hal ini muncul dari berbagai kritikan dari yang sopan
hingga yang sangat keras di berbagai media. Ya, inilah Indonesia kata salah
seorang teman saya.
Dalam sistem
politik demokrasi di negeri ini pada dasarnya semua orang punya hak yang sama
untuk menentukan kemana arah jalannya negara (rakyat berdaulat/berkuasa).
Setiap orang punya hak untuk memimpin, membuat aturan, mengelola sumber daya
alam, mengatur keuangan negara. Tetapi karena sebagian besar masih mengalami
buta politik maka mereka tidak mengambil haknya. Akibatnya politik dimanfaatkan
oleh orang-orang yang melek politik yang ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit.
Selanjutnya kekuasaan akan dipengaruhi oleh sedikit orang. Hal ini lah yang
selama ini terjadi dalam sistem profesi kita.
Sebagian dari
kita terlalu sibuk mencari tambahan penghasilan karena gaji perawat yang pas –
pas an. Belum lagi pasien yang menyita waktu dan tenaga kita sehingga rasanya
usai jam kerja tidak ada lagi waktu untuk melakukan hal produktif lain selain
istirahat dirumah dan bercengkrama dengan keluarga. Yang menjadi dosen pun
terlalu sibuk dengan mengajar dan bimbingan. Sedang yang lain sudah terlalu
mapan dan nyaman dengan posisinya sehingga lupa ada hal ke-profesian yang harus
diperjuangkan. Maka sebagian besar dari kita (PERAWAT) hanya mampu menjadi penonton dan sumber daya yang terus
diatur oleh sedikit orang yang nyatanya tidak peduli dengan perkembangan
profesi ini.
Semasa kuliah
saat saya ikut pendidikan politik, disampaikan bahwa politik adalah sebuah
usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan
mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal dalam rangka mencapai satu tujuan
(lupa sumbernya darimana, maaf). Dengan pengertian semacam itu bukankah sehari –
hari sebagai perawat kita berusaha mempengaruhi orang lain? Setiap hari kita
berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya agar mereka mematuhi terapi untuk
mencapai kesembuhan. Bukankah kita juga begitu pandai untuk melakukan penkes di
masyarakat dan memotivasi mereka untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat?
Dengan demikian maka tidak ada alasan lagi bagi perawat untuk tidak peduli,
cuek bahkan apatis terhadap politik.
Bagus mba, lihat juga Lihatlah, Mereka menyabung nyawa dalam Bencana!
BalasHapusLihatlah Bu Menkes, bacalah hai wakil rakyat!!!
http://perawatworld.blogspot.com/2014/04/ruu-dan-heroisme-perawat-indonesia.html