Beberapa bulan terakhir ini kata – kata itu familiar untuk di
dengar. Terutama bagi orang – orang yang biasa bepergian dengan bus ekonomi atau
yang biasa sejenak mendengarkan musik yang dijajakan penjual CD di pasar
khususnya di Jawa. Judul tulisan ini
adalah judul sekaligus lirik lagu dangdut koplo pantura yang kini sedang
nge-hits dikalangan penggemarnya. Kurang lebih artinya dalam bahasa Indonesia
adalah lebih baik beli satenya daripada beli kambingnya.
Saya secara pribadi mengenal lagu ini justru dari tempat saya
latihan senam. Dalam satu set latihan aerobic pelatih senam saya menggunakan 1
CD kompilasi lagu – lagu dangdut pantura. Isinya komplit dari oplosan, pokok ke
joget, kereta malam, goyang bang jail, wedi karo bojomu, masa lalu dan salah
satu nya adalah lagu ini. Awalnya tidak begitu memperhatikan isi liriknya,
maklum mengikuti gerakan pelatih saya yang bertubuh ramping dan sangat energik
itu sudah cukup menyita perhatian. Namun lama kealamaan karena sering mendengar
jadi mulai mengerti isi lagu tersebut.
“Mending tuku sate timbang tuku wedhuse, ……… tuku sate ora
mikir mburine, tuku wedhus isih mikir sukete…” atau dalam bahasa Indonesia “lebih
baik beli sate daripada beli kambing, ……. Beli sate tidak berfikir
kelanjutannya beli kambing masih mikir rumputnya” itu salah satu potongan bait
lagu tersebut. Memang tidak saya tulis semua, kalau penasaran bisa kok search
di google lirik lengkapnya. Saya rasa ada beberapa bagian yang memang kurang
tepat pada lagu ini dan kurang mendidik jadi tidak perlu di tayangkan.
Lepas dari makna sesungguhnya lagu ini, potongan syair diatas
dapat menggambarkan bahwa sang penyanyi tidak mau repot. Jika mau makan sate
bukankah lebih mudah langsung membeli satenya saja, karena setelah habis
tinggal kita buang tusuk sate dan bungkusnya ke tempat sampah. Sedangkan kalau
harus membeli kambingnya kita masih harus memikirkan cara member makan dan
perawatannya. Belum ketika harus mengolahnya, bukan hal yang baru lagi kalau
mengolah daging kambing itu butuh kesabaran ekstra. Bau khas daging kambing itu
yang kadang membuat kita harus berjuang setengah mati.
Menyimak salah satu bagian lirik lagu ini dan membandingkan
dengan budaya hidup kita sekarang. Kebenyakan dari kita juga akan berfikir
demikian, kalau mau makan sate (kambing) ngapain repot – repot beli kambing. Dengan
kalkulasi harga saja, semaruk – maruknya kita maksimal sate kambing yang kita
habiskan tidak lebih sari 50 tusuk. Misal harga 1 tusuk sate kambing 4000
rupiah maka dikali 50 harga nya menjadi 200 ribu rupiah. Bandingkan dengan
harga 1 ekor kambing (kambing bukan daging kambing) yang bisa mencapai 1 juta
rupiah. Harga itu belum termasuk biaya mengolah. Maka bagi kita yang ingin menikmati
sate kambing mengapa berfikir harus repot, tinggal beli satenya toh yang
berjualan juga banyak. Dari yang keliling, kaki lima sampai kelas resto pun
ada.
Fenomena inilah yang kini sedang dengan gencara menyergap
gaya hidup kita. Budaya hidup instant supaya gaya saya sebut dengan instant habit. Dimana sebagian besar
dari kita lebih suka hidup dengan cara yang mudah ketimbang dengan cara
konfensional dengan birokrasi dan tata cara yang rumit. Contoh mudah masalah
makanan di rumah, dulu seorang wanita akan sangat malu ketika tidak bisa
memasak dan menyediakan hidangan untuk seisi rumahnya ketika sudah menjadi
istri. Sekarang bukan hanya wanita karir bahkan ibu rumah tangga yang tidak
bekerja pun bisa pesan catering untuk bisa menyediakan hidangan untuk
keluarganya, dengan alasan repot.
Tapi akan kah juga demikian dengan hidup kita??? Fenomena instant habit ini juga secara tidak
langsung terbawa dalam konsep kesuksesan kita. Tidak jarang dari kita yang enggan
untuk repot dan mengalokasikan waktu, pikiran dan tenaga ekstra untuk bisa
meraih kesuksesan. Banyak cara yang bisa kita andalkan di dunia sekarang ini
untuk mencapai apa yang kita inginkan tanpa harus repot. Maka tidak heran
banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam lingkaran setan “contekan” dan “kunci
jawaban”. Bukankah mereka juga ikut terjebak dalam virus “mending tuku sate
timbang tuku wedhuse”?
Tapi hal yang berbeda dipikirkan oleh peternak kambing, http://peternakankambingberdikari.blogspot.com/2013/02/daftar-produkharga-dan-kalkulasi-hasil.html
. Dari link tersebut saya belajar bahwa dari seekor kambing kita bisa memprospek
investasi dimasa yang akan datang dengan kelipatan yang luar biasa. Menggunakan
modal yang tidak terlalu banyak tapi dikerjakan dengan telaten dan rajin. Sang peternak
tentu mendaya gunakan seluruh sumber daya yang ia punya untuk target besar yang
ia harapkan dapat tercapai. Dalam perjalanannya tidak menutup kemungkinan
muncul banyak hambatan. Tentunya ia akan berusaha mengoptimalkan waktu, dana,
tenaga dan pikirannya untuk meminimalkan bahkan menghapuskan resiko yang
mungkin muncul.
Dan demikianlah seharunya hidup kita. Dengan satu hal kecil
yang kita miliki kita mampu bertahan terus mengasah dan mengembangkannya
sehingga akan menghasilkan satu karya yang besar bagi diri kita secara pribadi
dan orang – orang lain di sekitar kita. Diakui atau tidak hidup kita ini
terlalu berharga untuk digadaikan pada budaya hidup instan. Akan sangat sia –
sia puluhan juta serabut saraf di otak kita bila kita tidak mencoba mengasahnya
dan membiarkan instant habit
mematikan potensi besar dalam diri kita.
Hidup itu sulit, kata beberapa orang. Justru karena sulit
itulah kita harus bisa memecahkan kesulitannya. Dan sebagai orang yang percaya
pada Tuhan, saya meyakini ketika muncul kesulitan maka Tuhan selalu memberi kita
kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikannya. Toh, Tuhan tidak membiarkan
umatNya menghadapi masalah diluar kemampuannya bukan? Maka jangan pernah membiarkan
kita kalah dari kondisi karena kita sudah terlalu nyaman dengan instans habit kita. Karena sejak awal
dunia ini dibentuk tidak ada hal yang tercipta dengan instan.
Semua butuh proses, bahkan mie instan pun butuh proses untuk
bisa dimakan dan dinikmati. Saya piker hanya anak kost yang kelewat males yang
akan makan mie instan dengan cara memakan mie nya yang masih kering dan lumayan
keras layakanya makan kerupuk. Bisa bersamaan dengan bumbu, atau menikmari
bumbu di akhir baru setelah itu minum air putih. Akhirnya kan akan bercampur
juga di dalam perut. Saya bisa pastikan orang yang biasa seperti ini pasti kena
typus. Jadi kalau anda merasa punya kebiasaan instan macam itu segera hentikan
sebelum anda diminta membayar minimal 6 juta rupiah untuk pemeriksaan
gastroscopy atau colonoscopy (endoscopy salauran pencernaan, diteropong itu
lho).
Maka mari kita berproses karena menyadari tidak ada satupun
hal di dunia ini yang instan, temasuk cinta. Saya jadi ingat lagu campursari
(maaf, saya orang jawa) yang sudah agak lama namun cukup memberi inspirasi dan
motivasi bagi saya, semoga juga anda.
Jo podo nelongso, jamane jaman rekoso (jangan pada bersedih, jamannya
jaman susah)
Urip pancen angel, kudune rak usah ngomel (hidup memang sulit, makanya nggak
perlu ngomel)
Ati kudu ayem, nyambut gawe karo seneng (hati harus tenang, bekerja sambil
senang)
Ulat ojo peteng, yen di kongkon yo sing temen (wajah jangan murung, kalo ada
perintah dikerjakan dengan tanggungjawab)
Lha,opo tho konco ati kerep loro (lha, kenapa teman hati sering
sakit)
Ra gelem rekoso, mbudi daya (tidak mau susah, dan berusaha)
Pancen kabeh podho pingen urip mulyo (memang semua ingin hidup sejahtera)
Wiwitan rekoso pancen nyoto (diawali dengan kerja keras itu baru nyata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar