Minggu, 27 April 2014

MENDING TUKU SATE TIMBANG TUKU WEDHUSE



Beberapa bulan terakhir ini kata – kata itu familiar untuk di dengar. Terutama bagi orang – orang yang biasa bepergian dengan bus ekonomi atau yang biasa sejenak mendengarkan musik yang dijajakan penjual CD di pasar khususnya di Jawa.  Judul tulisan ini adalah judul sekaligus lirik lagu dangdut koplo pantura yang kini sedang nge-hits dikalangan penggemarnya. Kurang lebih artinya dalam bahasa Indonesia adalah lebih baik beli satenya daripada beli kambingnya.
Saya secara pribadi mengenal lagu ini justru dari tempat saya latihan senam. Dalam satu set latihan aerobic pelatih senam saya menggunakan 1 CD kompilasi lagu – lagu dangdut pantura. Isinya komplit dari oplosan, pokok ke joget, kereta malam, goyang bang jail, wedi karo bojomu, masa lalu dan salah satu nya adalah lagu ini. Awalnya tidak begitu memperhatikan isi liriknya, maklum mengikuti gerakan pelatih saya yang bertubuh ramping dan sangat energik itu sudah cukup menyita perhatian. Namun lama kealamaan karena sering mendengar jadi mulai mengerti isi lagu tersebut.

“Mending tuku sate timbang tuku wedhuse, ……… tuku sate ora mikir mburine, tuku wedhus isih mikir sukete…” atau dalam bahasa Indonesia “lebih baik beli sate daripada beli kambing, ……. Beli sate tidak berfikir kelanjutannya beli kambing masih mikir rumputnya” itu salah satu potongan bait lagu tersebut. Memang tidak saya tulis semua, kalau penasaran bisa kok search di google lirik lengkapnya. Saya rasa ada beberapa bagian yang memang kurang tepat pada lagu ini dan kurang mendidik jadi tidak perlu di tayangkan.
Lepas dari makna sesungguhnya lagu ini, potongan syair diatas dapat menggambarkan bahwa sang penyanyi tidak mau repot. Jika mau makan sate bukankah lebih mudah langsung membeli satenya saja, karena setelah habis tinggal kita buang tusuk sate dan bungkusnya ke tempat sampah. Sedangkan kalau harus membeli kambingnya kita masih harus memikirkan cara member makan dan perawatannya. Belum ketika harus mengolahnya, bukan hal yang baru lagi kalau mengolah daging kambing itu butuh kesabaran ekstra. Bau khas daging kambing itu yang kadang membuat kita harus berjuang setengah mati.
Menyimak salah satu bagian lirik lagu ini dan membandingkan dengan budaya hidup kita sekarang. Kebenyakan dari kita juga akan berfikir demikian, kalau mau makan sate (kambing) ngapain repot – repot beli kambing. Dengan kalkulasi harga saja, semaruk – maruknya kita maksimal sate kambing yang kita habiskan tidak lebih sari 50 tusuk. Misal harga 1 tusuk sate kambing 4000 rupiah maka dikali 50 harga nya menjadi 200 ribu rupiah. Bandingkan dengan harga 1 ekor kambing (kambing bukan daging kambing) yang bisa mencapai 1 juta rupiah. Harga itu belum termasuk biaya mengolah. Maka bagi kita yang ingin menikmati sate kambing mengapa berfikir harus repot, tinggal beli satenya toh yang berjualan juga banyak. Dari yang keliling, kaki lima sampai kelas resto pun ada.
Fenomena inilah yang kini sedang dengan gencara menyergap gaya hidup kita. Budaya hidup instant supaya gaya saya sebut dengan instant habit. Dimana sebagian besar dari kita lebih suka hidup dengan cara yang mudah ketimbang dengan cara konfensional dengan birokrasi dan tata cara yang rumit. Contoh mudah masalah makanan di rumah, dulu seorang wanita akan sangat malu ketika tidak bisa memasak dan menyediakan hidangan untuk seisi rumahnya ketika sudah menjadi istri. Sekarang bukan hanya wanita karir bahkan ibu rumah tangga yang tidak bekerja pun bisa pesan catering untuk bisa menyediakan hidangan untuk keluarganya, dengan alasan repot.
Tapi akan kah juga demikian dengan hidup kita??? Fenomena instant habit ini juga secara tidak langsung terbawa dalam konsep kesuksesan kita. Tidak jarang dari kita yang enggan untuk repot dan mengalokasikan waktu, pikiran dan tenaga ekstra untuk bisa meraih kesuksesan. Banyak cara yang bisa kita andalkan di dunia sekarang ini untuk mencapai apa yang kita inginkan tanpa harus repot. Maka tidak heran banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam lingkaran setan “contekan” dan “kunci jawaban”. Bukankah mereka juga ikut terjebak dalam virus “mending tuku sate timbang tuku wedhuse”?
Tapi hal yang berbeda dipikirkan oleh peternak kambing,  http://peternakankambingberdikari.blogspot.com/2013/02/daftar-produkharga-dan-kalkulasi-hasil.html . Dari link tersebut saya belajar bahwa dari seekor kambing kita bisa memprospek investasi dimasa yang akan datang dengan kelipatan yang luar biasa. Menggunakan modal yang tidak terlalu banyak tapi dikerjakan dengan telaten dan rajin. Sang peternak tentu mendaya gunakan seluruh sumber daya yang ia punya untuk target besar yang ia harapkan dapat tercapai. Dalam perjalanannya tidak menutup kemungkinan muncul banyak hambatan. Tentunya ia akan berusaha mengoptimalkan waktu, dana, tenaga dan pikirannya untuk meminimalkan bahkan menghapuskan resiko yang mungkin muncul.
Dan demikianlah seharunya hidup kita. Dengan satu hal kecil yang kita miliki kita mampu bertahan terus mengasah dan mengembangkannya sehingga akan menghasilkan satu karya yang besar bagi diri kita secara pribadi dan orang – orang lain di sekitar kita. Diakui atau tidak hidup kita ini terlalu berharga untuk digadaikan pada budaya hidup instan. Akan sangat sia – sia puluhan juta serabut saraf di otak kita bila kita tidak mencoba mengasahnya dan membiarkan instant habit mematikan potensi besar dalam diri kita.
Hidup itu sulit, kata beberapa orang. Justru karena sulit itulah kita harus bisa memecahkan kesulitannya. Dan sebagai orang yang percaya pada Tuhan, saya meyakini ketika muncul kesulitan maka Tuhan selalu memberi kita kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikannya. Toh, Tuhan tidak membiarkan umatNya menghadapi masalah diluar kemampuannya bukan? Maka jangan pernah membiarkan kita kalah dari kondisi karena kita sudah terlalu nyaman dengan instans habit kita. Karena sejak awal dunia ini dibentuk tidak ada hal yang tercipta dengan instan.
Semua butuh proses, bahkan mie instan pun butuh proses untuk bisa dimakan dan dinikmati. Saya piker hanya anak kost yang kelewat males yang akan makan mie instan dengan cara memakan mie nya yang masih kering dan lumayan keras layakanya makan kerupuk. Bisa bersamaan dengan bumbu, atau menikmari bumbu di akhir baru setelah itu minum air putih. Akhirnya kan akan bercampur juga di dalam perut. Saya bisa pastikan orang yang biasa seperti ini pasti kena typus. Jadi kalau anda merasa punya kebiasaan instan macam itu segera hentikan sebelum anda diminta membayar minimal 6 juta rupiah untuk pemeriksaan gastroscopy atau colonoscopy (endoscopy salauran pencernaan, diteropong itu lho).
Maka mari kita berproses karena menyadari tidak ada satupun hal di dunia ini yang instan, temasuk cinta. Saya jadi ingat lagu campursari (maaf, saya orang jawa) yang sudah agak lama namun cukup memberi inspirasi dan motivasi bagi saya, semoga juga anda.

Jo podo nelongso, jamane jaman rekoso (jangan pada bersedih, jamannya jaman susah)
Urip pancen angel, kudune rak usah ngomel (hidup memang sulit, makanya nggak perlu ngomel)
Ati kudu ayem, nyambut gawe karo seneng (hati harus tenang, bekerja sambil senang)
Ulat ojo peteng, yen di kongkon yo sing temen (wajah jangan murung, kalo ada perintah dikerjakan dengan tanggungjawab)
Lha,opo tho konco ati kerep loro (lha, kenapa teman hati sering sakit)
Ra gelem rekoso, mbudi daya (tidak mau susah, dan berusaha)
Pancen kabeh podho pingen urip mulyo (memang semua ingin hidup sejahtera)
Wiwitan rekoso pancen nyoto (diawali dengan kerja keras itu baru nyata)

Kamis, 24 April 2014

CAPAI INTERNATIONAL PATIENT SAFETY GOAL’S DENGAN NURSE AWARENESS



Di era pelayanan rumah sakit mengacu pada standart internasional layaknya sekarang ini sudah bukan hal yang asing lagi ketika kita membicarakan tentang International Patient Safety Goal’s atau biasa disingkat IPSG. Hal tesebut merupakan salah satu komponen penting yang harus dicapai setiap Rumah Sakit bila ingin lolos uji kompetensi secara internasional. Dimana standart pelayanan di dalam nya mengacu pada keamanan dan keselamatan pasien.
Oktober 2004, WHO dan berbagai lembaga di dunia mendirikan ”World Alliance For Patient Safety” dengan tujuan mengangkatkan patient safety goal dan menurunkan morbiditas, cidera dan kematian pasien. Dan tahun 2005, sebagai tema hari perawat international ditetapkan bahwa perawat dengan patien safety merupakan target dan sub standar dari pelayanan kesehatan.
Sebuah penelitian mengatakan staff perawat yang tidak memadai dan buruknya dukungan dari organisasi memberikan efek yang buruk pada patien safety secara global (Alken, 2002). Serta jam kerja perawat yang panjang (lama) pada sebuah rumah sakit akan meningkatkan kelalaian kerja petugas (Rogers, 2004)
International Council Of Nurse (ICN, 2003) mengatakan kesalahan terjadi bukan karena petugas yang kurang pelatihan tetapi karena sistem organisasi itu sendiri yang tidak didisain untuk mencegah kesalahan tersebut. Di Indonesia sendiri pencanangan gerakan keselamatan pasien rumah sakit telah ditetapkan oleh menteri kesehatan pada seminar nasional PERSI tanggal 21 Agustus 2005.
Keselamatan pasien (Patient Safety) merupakan suatu sistem yang mendorong rumah sakit membuat asuhan pasien menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (KKP-RS, 2005).
Mengingat pelayanan keperawatan merupakan ujung tombak utama pelayanan kesehatan di rumah sakit dan merupakan cermin utama dari keberhasilan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.Pelayanan keperawatan yang bermutu tinggi harus dilaksanakan oleh tenaga keperawatan professional dengan cara yang professional juga. Perawat sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit (sebesar 40 – 60%) dan dimana pelayanan keperawatan yang diberikan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, memiliki peran kunci dalam mewujudkan keselamatan pasien.
Nursing is the protection, promotion, and optimization of health and abilities, prevention of illness and injury, alleviation of suffering through diagnosis and treatment of human response, and advocacy in the care of individuals, families, communities, and populations (ANA, 2003). Berangkat dari definisi inilah, peran-peran perawat dalam mewujudkan patient safety di rumah sakit dapat dirumuskan. Antara lain sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standar pelayanan dan SOP yang telah ditetapkan; menerapkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan keperawatan; memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang asuhan yang diberikan; menerapkan kerjasama tim kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan; menerapkan komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya; peka, proaktif dan melakukan penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan; serta mendokumentasikan dengan benar semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga.
Pelayanan keperawatan yang profesional dengan standar internasional sudah didepan mata. Pelayanan tidak lagi hanya berfokus pada kepuasan pasien tetapi lebih penting lagi adalah keselamatan pasien (patient safety). Harapan pelayanan profesional yang bermutu tinggi yang berfokus pada keselamatan (safety) dan kepuasan pasien dapat terlaksana.
Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Rumah Sakit menuju pengakuan internasional harus melalui proses akreditasi dilakukan oleh lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian tentang kualitas pelayanan di institusi pelayanan kesehatan.
Garis besar dalam mewujudkan nursing awareness ini mengacu pada bagaimana perawat menerapkan pelayanan dengan secara terus menerus mengembangkan peran keperawatan. Menentukan ruang lingkup praktek keperawatan sehingga perawat, atau disiplin ilmu  lainnya, dan masyarakat dalam mengembangkan dan menyebarluaskan suatu pernyataan sikap tentang pentingnya suatu lingkungan kerja yang aman. Di mulai dengan kemanan pada pemberian asuhan keperawatan, mengutaman keselamatan bukan hanya untuk pasien namun juga keamanan untuk diri sendiri.
Memperhatikan enam sasaran seselamatan pasien, yang dicakup dalam IPSG meliputi ketepatan identifikasi pasien, peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, kepastian tepat lokasi - tepat prosedur - tepat pasien post operasi, pengurangan resiko infeksi, dan pengurangan resiko pasien jatuh. Point penting dalam pelaksanaannya bukan hanya mengacu pada pemenuhan SPO semata namun bagaimana perawat bisa menjadi agent pemberi pelayanan yang optimal dengan mengutamakan kepeduliaannya. Meningat perawatlah yang ada mendampingi pasien selama 24 jam.
Sikap peduli ini bukan hanya mengutamakan pada pasien sebagai obyek utama pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan. Namun lebih dari itu sikap peduli ini bisa dimaknai dengan lebih mengacu pada bagaimana perawat memberikan pelayanannya. Sehingga keselamatan dan keamanan dapat dicapai oleh kedua belah pihak. Yaitu sang pemberi pelayanan dalam hal ini perawat dan pihak penerima pelayanan yaitu pasien dan keluarga. Diharapkan nanti IPSG bukan hanya sekedara slogan dalam rangka mencapai standart akreditasi internasional bagi rumah sakit namun juga menjadi suatu kesadaran bersama dalam dunia pelayanan kesehatan khususnya keperawatan.

Selasa, 01 April 2014

PERAWAT dan POLITIK



Masuk bulan April tahun 2014 ini menjadi bulan yang cukup hot untuk kita. Bukan hanya karena sudah mulai jarang turun hujan tapi atmosfer di masyarakat kita memang sedang memanas. Apalagi kalau bukan pemilu legislatif  yang akan di selenggarakan tanggal 9 April 2014 kelak. Pada masa orde baru saya mengenal pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat. Entah itu hanya selogan atau memang benar. Sekarang melihat pemilu hanya seperti proses percaloan pemangku kekuasaan yang diikuti dengan adegan yang saya rasa tidak menunjukan sisi cinta lingkungan. Sebatas pemikiran pribadi tentang pamflet yang menghabiskan berlembar – lembar kertas dari berapa juta pohon yang tertebang. Tak urungnya hanya disimpan atau malah langsung dibuang. Atau puluhan MMT yang berselebaran di jalan. Dipaku di pohon,ditempel di tiang listrik, dengan bambu dipasang di pembatas jalan. Selain merusak keindahan juga berbahaya, seperti siang itu seorang bapak pengendara sepeda montor yang tidak sengaja jaketnya tersangkut pada bambu yang digunakan memasang MMT salah satu caleg di area jalan protocol yang cukup ramai. Bersyukur jaketnya hanya sobek dan sempat oleng sedikit padahal dibelakangnya ada truk BBM dan bus dalam kota.
Kondisi seperti ini mau tidak mau membuat kita membuka mata dan peduli pada iklim politik di negeri kita yang mulai tidak sehat. Minggu lalu saya sempat mengikuti acara deklarasi salah satu forum kemasyarakatan yang di hadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang. Menurut beliau politik, adalah jargon “kalau kumpul rasanya menggelitik”. Menurut saya tidak hanya menggelitik tapi juga bikin intrik. Mengapa demikian? Di beberapa akun media sosial yang mengaku heater tokoh X atau partai X akan mati – matian mengeluarkan data – data yang menyudutkan partai dan tokoh tersebut dan akan dibalas oleh sang simpatisan hingga tidak jarang muncul percikan – percikan emosi dalam deretan kata yang tertulis dalam komentar atau twit nya. Dan setelah dibaca serasa nonton debat politik atau ILC (salah satu acara yang sedang ramai diperbincangkan sekaligus memiliki saingan ILK).
Diluar kondisi tersebut dari salah satu akun yang beranggotakan puluhan ribu perawat di situs FB saya mendapatkan info ada beberapa perawat yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
1.       Dr. H. Djauhari, MM / Demokrat/ Dapil Sumsel 1/No 2
2.      Afri Sunadi M.Kep.,SpKMB / PDIP/ Dapil Bengkulu/ No 4
3.      Prof. Achir Yani S Hamid, DN., MNSc / PDIP / Dapil Lampung 1/ No 3
4.      H. Jamaludin, S.Kep., Mkep / PKB/ Jabar VII/ No 9
5.      H. Syarif Hidayat, MSi/ PAN/ Jabar XI/ No 4
6.      Nurmala Manurung, SKM/ PKPI / Sumut 1/ No 3
7.      Irfan Soritua Hasibuan, AMK/ PKB/ Sumut 2/ No 5
8.      Kristina Everentia Ngasu, S.E., S.Kep.,Ners/Nasdem/ NTT 1/ No 5
9.      Nova Maulidiya, S.Kep/ PKB/ Aceh 2 / No 6
10.  Rina Susanti, SKM / Nasdem/ Jambi/ No 6
11.  Tati, AMK/ Demokrat/ Jateng 9/ No 8
12.   H. Sutomo, SPd., M.Kes/ Golkar/ Jateng V/ No 6
(Masih ada nama – nama lain yang belum tercatat, maaf karena belum sempat merangkum)
Ada rasa bangga, karena akhirnya profesi ini berkembang. Melihat profesi tetangga yang sudah dari dulu banyak terlibat di ranah politik dan pemerintahan. Sedang profesi ini, perawat masih sibuk dengan pasien dan administratifa lain dipelayanan klinik. Hanya mengira – ira apakah memang pendidikan perawat di negeri ini dulu sengaja dihamabt agar posisinya tetap di bagian vokasional sehingga tidak bisa menyentuh ranah politik yang maha agung.
Terbersit juga rasa takut, mengingat godaan di gedung legistatif sana (baik kota, provinsi terlebih nasional) sungguh amat berat. Setiap kebijakan tidak serta merta di bahas dan disetujui demi kemaslatan rakyat. Selalu ada tendensi dan perhitungan untung rugi dalam setiap kebijakan dan keputusan yang diambil. Terkuaknya berbagai skandal juga menjadikan hati ini prihatin. Berharap para senior sejawat yang kelak menjadi anggota legislatif tidak terjerat dalam lingkaran setan yang sudah menelan banyak korban.
Melihat kenyataan ini sudah seharusnya kita (PERAWAT) sekarang melek politik. Sadar diri dan tahu sejauh mana posisi kita dapat menyentuh di ranah hokum. Apapun alasan dari rekan – rekan sejawat yang mengambil jalur politik. Setidaknya mereka punya keinginan sebagai wujud nyata dalam menge-goal kan RUU Keperawatan. Meskipun di grass area masih banyak perawat yang ragu dan belum sepaham tentang esensi Undang – Undang Keperawatan bagi profesinya. Banyak respon pesimistik dari rekan – rekan sejawat bahkan adanya perbedaan pandangan antara rekan – rekan di area akademisi dengan rekan – rekan di area klinis. Ini kelemahan profesi kita, karena sistem membuat kita terpisah. Berbeda hal nya dengan profesi tetangga dimana area akademisi berkesinambungan dengan area klinis.
Pesimistik secara pribadi maupun profesi terlihat dari beberapa rekan yang mengungkapkan tidak akan menberikan hak suaranya secara sengaja pada pemilu esok. Miris sebenarnya mendengar hal tersebut, namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan mengingat bahwa nyoblos (memberikan suara) pada pemilu adalah hak setiap warga negara. Artinya mereka berhak memilih siapa aja sekaligus berhak untuk tidak memilih siapa – siapa. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terutama legistatif pun sangat menurun. Hal ini muncul dari berbagai kritikan dari yang sopan hingga yang sangat keras di berbagai media. Ya, inilah Indonesia kata salah seorang teman saya.
Dalam sistem politik demokrasi di negeri ini pada dasarnya semua orang punya hak yang sama untuk menentukan kemana arah jalannya negara (rakyat berdaulat/berkuasa). Setiap orang punya hak untuk memimpin, membuat aturan, mengelola sumber daya alam, mengatur keuangan negara. Tetapi karena sebagian besar masih mengalami buta politik maka mereka tidak mengambil haknya. Akibatnya politik dimanfaatkan oleh orang-orang yang melek politik yang ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit. Selanjutnya kekuasaan akan dipengaruhi oleh sedikit orang. Hal ini lah yang selama ini terjadi dalam sistem profesi kita.
Sebagian dari kita terlalu sibuk mencari tambahan penghasilan karena gaji perawat yang pas – pas an. Belum lagi pasien yang menyita waktu dan tenaga kita sehingga rasanya usai jam kerja tidak ada lagi waktu untuk melakukan hal produktif lain selain istirahat dirumah dan bercengkrama dengan keluarga. Yang menjadi dosen pun terlalu sibuk dengan mengajar dan bimbingan. Sedang yang lain sudah terlalu mapan dan nyaman dengan posisinya sehingga lupa ada hal ke-profesian yang harus diperjuangkan. Maka sebagian besar dari kita (PERAWAT) hanya mampu menjadi penonton dan sumber daya yang terus diatur oleh sedikit orang yang nyatanya tidak peduli dengan perkembangan profesi ini.
Semasa kuliah saat saya ikut pendidikan politik, disampaikan bahwa politik adalah sebuah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal dalam rangka mencapai satu tujuan (lupa sumbernya darimana, maaf). Dengan pengertian semacam itu bukankah sehari – hari sebagai perawat kita berusaha mempengaruhi orang lain? Setiap hari kita berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya agar mereka mematuhi terapi untuk mencapai kesembuhan. Bukankah kita juga begitu pandai untuk melakukan penkes di masyarakat dan memotivasi mereka untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat? Dengan demikian maka tidak ada alasan lagi bagi perawat untuk tidak peduli, cuek bahkan apatis terhadap politik.