Senin, 01 Oktober 2018


DILEMA ETIK, sebuah telaah jurnal karya Maria Imaculata Ose tahun 2015 di RSUD Dr. Saiful Anwar


Hasil pengamatan peneliti menemukan bahwa IGD RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki jumlah kunjungan pasien di IGD tinggi namun tidak sebanding dengan jumlah perawat yang bertugas. Berdasarkan hasil laporan tahunan RSSA Malang (2014), pasien IGD terlantar yang diterima pada setiap tahunnya terus meningkat. Dilema etik sering dialami oleh perawat IGD dalam merawat pasien terlantar dalam fase menjelang ajal yang tidak memiliki identitas. Kesulitan akan timbul pada saat perawat akan mengumpulkan, mengklarifikasikan data riwayat kesehatan pasien, dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan akan tindakan yang akan dilakukan. Fokus perawatan yang diberikan pada fase menjelang ajal adalah End Of Life Care (Forero et al., 2012). Ketidakhadiran keluarga untuk mendampingi pasien, dan tingginya beban kerja perawat yang tidak seimbang dengan banyaknya pasien menyebabkan perawat tidak dapat fokus memberikan pendampingan bagi pasien.
Berdasarkan hasil wawancara dalam studi pendahuluan, perawat menjelaskan bahwa fokus perawatan adalah pasien-pasien yang berada dalam keadaan gawat dan kritis, sedangkan pasien-pasien yang menjelang ajal bukanlah pasien prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan perawat merasakan iba pada pasien terlantar yang menjelang ajal karena tidak ada yang mendampingi sehingga kemudian memunculkan dilema etik. Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema etik sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria.


3.2.      Analisa Kasus: Dilema Etik Perawatan Pasien terlantar di IGD

Berdasarkan data dari penelitian Ose (2017) pasien terlantar tanpa keluarga di tangani IGD RSUD dr. Saiful Anwar atau biasa disebut RSSA sebanyak 69 pasien di tahun 2012, 55 pasien di tahun 2013 dan 75 pasien di tahun 2014 dan diperkirakan jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya. Kondisi serupa tentu bukan hanya dialami oleh RSSA saja, banyak rumah sakit lain juga berhadapan dengan kondisi yang sama. Kedatangan pasien terlantar, tanpa keluarga, tanpa penanggung jaawab dan sering tanpa identitas memunculkan dilema tersendiri bagi perawat yang menangani.
Penanganan pada pasien terlantar yang menghadapi ajal ini seharusnya sama dengan pasien – pasien lain. Penerapan konsep triage yang ada di ruang IGD tetap diterapkan. Pasien di skrining sesuai kondisi yang dialami, bisa jadi pasien – pasien menjelang ajal ini berada di label merah dimana kondisinya gawat darurat dan membutuhkan penanganan yang cepat. Kondisi gawat darurat atau dalam emergency severity index (ESI) menyebutnya kasus true emergency merupakan kondisi mengancam nyawa. Bila tidak segera dilakukan penanganan akan menyebabkan kematian atau kecacatan yang fatal pada pasien (Kartikawati, 2015).
Kebutuhan penanganan pasien gawat darurat yang cepat dan tepat sesuai dengan standar yang berlaku merupakan suatu keharusan. Penanganan yang optimal tentu melibatkan proses assesment, penegakan diagnosa dan pemberiaan terapi yang optimal (Kartikawati, 2015). Berbagai penanganan tersebut tentunya membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Pasien terlantar tanpa penanggung jawab akan menimbulkan dilema etik saat pengambilan keputusan terkait penanganan pasien. Berdasarkan PMK No. 903 tahun 2011 menyatakan bahwa masyarakat miskin dan orang – orang terlantar menjadi tanggung jawab negara melalui  Dinas Sosial. Realita di lapangan pasien – pasien terlantar ini sering sekali tiba di IGD pada malam hari atau diluar jam kerja Dinas Sosial. Tentunya dalam penanganan yang dilakukan bila menunggu pihak yang bertanggung jawab akan memakan waktu dan penanganan pasien mengalami keterlambatan.
PMK No. 19 tahun 2016 menyebutkan bahwa penanganan gawat darurat terpadu di tingkat Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan tindakan yang komprehensif dalam pelayanan emergency. Prinsip penanganan dilakukan dengan segera untuk mencegah kematian maupun meminimalkan kecacatan. Perawat yang bertugas di IGD harus melakukan implementasi yang tepat sesuai hasil pemeriksaan. Pengambilan keputusan implementasi pada pasien terlantar ini sering menimbulkan dilema etik. Pasien – pasien terlantar tidak dapat memenuhi kebutuhan sosial dan emosional dengan baik. Berlawanan dengan hal tersebut sebagai manusia mereka tetap mempunyai keinginan untuk diperhatikan di akhir masa hidupnya (Campbell, 2014). Keputusan perawat ini sangat berarti bagi pasien, karena di waktu – waktu terakhir inilah caring nampak nyata.
Profesionalitas perawat dalam menghadapi berbagai konseunsi dan resiko dari tugas dan perannya sangat diuji. Perawat diperhadapkan pada dilema etik pasien terlantar yang menghadapi ajal di IGD dapat merasa sangat tertekan. Pemberian asuhan keperawatan menurut Asmadi (2008) bukan hanya berfokus dalam pengobatan pasien namun juga pada respon bio, psiko, sosial dan kultural dari pasien. Pemberian asuhan keperawatan pada pasien menjelang ajal memberikan tekanan khusus diantaranya perawat dihadapkan pada kenyataan kematian yang akan dialami, menghadapi pasien dengan gejala – gejala yang tidak dapat terobati, menyaksikan duka keluarga, berhadapan dengan masalah etik, ketidaksepahaman dengan disiplin ilmu lain dalam memberikan pelayanan dan ketidakmampuan atau pengalaman dalam merawat pasien sekarat (Campbell,2014).
Campbell (2014) juga menuliskan tekanan yang muncul saat perawat memberikan perawatan pada pasien mendekati ajal berasal dari tempat kerja, dimana tugas yang terlalu banyak, kerja tim yang kurang efisien, ketersediaan ruangan yang kurang dan mobilitas tinggi. Kondisi ini memungkinkan sekali perawat mengalami burnout. Kualitas lingkungan kerja yang tidak baik diikuti dengan dilema – dilema etik yang terus muncul sepanjang pekerjaan akan menurunkan kualitas kerja dari seorang perawat. Penurunan kualitas kerja ditandai dengan emosi perawat yang tidak stabil dan rasa lelah yang teramat sangat (Robbins, 2017). Penurunan kualitas kerja ini membuat perawat menjadi apatis dan mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya sebatas rutinitas.

3.3.      Solusi Etik

1.      Perawat memiliki kemampuan membuat keputusan etik
Konsep keprofesian, keperawatan didasari oleh ilmu pengetahuan dan tanggung jawab yang tinggi dari setiap individu, didasarkan pada kelompok pengetahuan yang kokoh, dapat dipelajari dan diperbaharui melalui penelitian. Selain itu dapat diajarkan melalui suatu proses pendidikan kekhususan, mempunyai suatu organisasi yang kuat dan kohesif dan praktisi-praktisisnya mempunyai sifat altruisme yaitu keinginan untuk menolong orang lain (Citty, 1997). Pada pembuatan keputusan etik dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu social contract and individual rights, obedience and punishment orientation dan maintaining the social order (DPP PPNI, 2017).
Perawat yang memahami etik sebagai suatu keyakinan akan profesi yang dijalani. Aiken (2004) menjelaskan etika adalah deklarasi tentang apa yang benar atau salah dan apa yang seharusnya dilakukan. Dilema etik yang dihadapi perawat khususnya ketika menangani pasien terlantar pada akhir masa hidupnya di ruang IGD ini hampir tidak bisa dihindari. Kemampuan untuk melakukan asuhan keperawatan berpijak pada tahapan tertinggi yaitu social contract and individual rights adalah bagian yang di idam – idamkan. Keperawatan sebagai profesi sudah tertata dengan baik. Aturan – aturan yang berlaku sudah dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Semua bentuk intervensi yang dilakukan bertujuan untuk mensejahterakan pasien dengan beradasarkan pada kontrak – kontrak sosial yang sudah diakui secara hukum (DPP PPNI, 2017).
Kemampuan diatas membuat perawat dapat memilah dengan baik berbagai masalah etik yang mungkin terjadi dalam tugasnya. Diperhadapkan dengan pasien yang terlantar dan menghadapi ajal perawat dapat mengambil keputusan etik yang tetap mengutamakan kesejahteraan pasien. Pada akhir hayatnya pasien end of life (EOL) dapat merasakan caring dari perawat.

2.      Perawat tetap memandang pasien sebagai manusia secara utuh
Keperawatan oleh Zamanzahed, et.al (2015) disebut suatu pelayanan profesional yang meliputi aspek biologi, psikologi, sosial, dan spiritual yang bersifat komprehensif ditunjukkan kepada individu, keluarga, kelompok yang sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia untuk mencapai derajat kesehatan optimal. Undang-Undang Keperawatan No 38 Tahun 2014 juga menjelaskan keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
Perawat yang menyadari tanggung jawab dan peran nya sebagai profesi pemberi layanan secara komprehensif baik pada individu yang sehat maupun sakit akan mampu menyelesaikan dilema yang muncul dengan tepat. Perawat memperhatikan prinsip otonomi (Autonomy) meski pasien EOL dalam keadaan sekarat perawat tidak mengabaikan keinginan individu untuk menentukan pengobatan yang terbaik. Keadilan (Justice), diartikan bahwa perawat kewajiban untuk berlaku adil bagi semua orang. Meskipun pasien merupakan pasien terlantar tanpa keluarga dan penanggung jawab bukan berarti pelayanan yang diberikan akan berbeda dengan pasien lain. Prinsip penanganan kegawat daruratan tetap dilaksanakan.
Fidelity adalah kewajiban individu untuk setia pada komitmen yang dibuat untuk diri sendiri dan yang lain. Pengertian akan konsep ini harus dipertahankan dalam kondisi dilema etik perawat tetap setia terhadap tanggungjawabnya yang tertuang pada sumpah profesi. Beneficence atau kemurahan hari adalah persyaratan yang sangat tua bagi penyedia layanan kesehatan yang melihat tujuan utama perawatan kesehatan adalah melakukan kebaikan untuk pasien yang dirawat. Kemurahan hati ini yang membantu perawat dapat memutuskan dilema etik khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan pasien terlantar.
Selanjutnya adalah nonmaleficence, perawat dalam melakukan tugasnya sebagai bagian dari layanan kesehatan tidak membahayakan mereka pasien, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Pasien EOL dilindungi dari hal – hal yang membahayakan meskipun sebagai pasien terlantar. Kejujuran (veracity) mengharuskan perawat mengatakan yang sebenarnya dan tidak dengan sengaja menipu atau menyesatkan pasien. Dalam dilema etik yang dialami secara praktis perawat dapat tetap memberikan informasi secara jujur pada pasien atau pihak lain yang terkait.
Paternalisme mengacu pada praktik yang membatasi kebebasan individu tanpa memberikan persetujuan. Sikap paternalistik tidak memprioritaskan pilihan atau keinginan individu. Mereka yang bertindak dengan cara paternalistik berasumsi bahwa mereka lebih tahu apa yang baik untuk kondisi selanjutnya. Konsep ini berlaku pada pasien EOL terlantar saat harus melakukan tindakan – tindakan untuk mempertahankan kondisi pasien tetap stabil. Rasionalisme membantu perawat untuk berfikir dan mengambil keputusan secara rasional pada pasien EOL yang terlantar. Mengerti dampak akhir dari pelayanan yang diberikan sehingga keputusan yang diambil tidak memunculkan dilema etik yang baru. Terakhir adalah pragmatisme dimana perawat mengklarifikasi ide secara obyektif melalui pemecahan masalah. Dalam kasus yang terjadi prinsip ini dapat dilakukan dengan rekan sejawat, dokter atau profesional pemberi asuhan lain untuk tetap mempertahankan ke obyektifan keputusan yang diambil (Aiken, 2004).


3.      Regulasi pelayanan untuk menghindari burnout pada perawat
Dilema etik yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pelayanan yang berlaku. Peraturan dalam PMK no. 903 tahun 2011 jelas mengatur bagaimana warga yang tidak mampu termasuk gelandangan mempunyai hak mendapatkan pelayanan yang optimal. Sama seperti pasien pada umumnya, pasien EOL yang terlantar juga harus dilakukan skrining, pengkajian dan intervensi secara menyeluruh.Kebijakan secara nasional maupun daerah akan di kerucutkan lagi menjadi kebijakan yang bersifat internal rumah sakit. Hal ini mengingat kondisi rumah sakit yang berbeda antara satu dengan yang lain. Karakteristik masalah yang dihadapi dan ketersediaan peralatan juga menjadi pertimbangan penting.
Keberadaan regulasi yang jelas ini juga dapat menghindarkan perawat di IGD mengalami burnout. Burnout atau penurunan kualitas kerja dalam suatu organisasi atau pelayanan disebabkan salah satunya peraturan yang tidak jelas (Robbins, 2017). Tidak adanya regulasi dalam bentuk kebijakan, pedoman, panduan hingga SOP di IGD dalam menangani pasien terlantar dengan EOL akan membuat perawat terus menerus bersinggungan dengan dilema etik. Kondisi ini tentu menimbulkan kondisi yang tidak nyaman dalam lingkungan kerja. Bila berlangsung terus – menerus maka penurunan kualitas kerja dari perawat IGD tidak akan terhindarkan.
Hasil uji fenomenologi yang dilakukan Ose (2017) menyebutkan bahwa RSSA sudah memiliki kebijakan sendiri terkait penanganan pasien terlanatar dengan EOL. Rumah sakit tetap memberikan pelayanan yang optimal hanya sebatas pada pelayanan life saving. Pasien tetap merasa dihargai dan memiliki pengalaman yang baik ketika melewati masa akhir hidunya, demikian menurut Campbell (2014). Bila kondisi life saving ini sudah terlewati yang artinya pasien bisa selamat. Maka dalam penanganan selanjutnya pihak RSSA menyerahkan pada pihak pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan isi PMK no. 903 tahun 2011 yang menyatakan orang miskin, gelandangan dan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah.

3.4.      Impresi Solusi Etik

Berbagai solusi etik yang dijabarkan diatas tidak mungkin terlaksana dengan optimal tanpa adanya dukungan yang kuat dari organisasi profesi sebagai pembuat dan pengawas terlaksananya kode etik keperawatan. Penekanan dalam penerapan solusi etik dalam menghadapi dilema di area klinik didasarkan atas kemampuan perawat dalam memahami masalah etik yang mungkin terjadi dan dukungan dari organisasi profesi.
Dilema etik yang terjadi memungkinkan munculnya ketidaksepahaman atau perbedaan pendapat antara beberapa pihak. DPP PPNI (2017) menyatakan untuk menyelesaikan ketidaksepahaman tersebut melalui hasill Munas IX dibentuklah MKEK (Majelis Kehormatan Etik Keperawatan). MKEK ini memiliki tugas pokok untuk membina anggota dalam penghayatan dan pengamalan kode etik keperawatan serta membuat pedoman penerapan etik dalam pemberian pelayanan keperawatan dan pedoman penyelesaian sengketa etik dalam pelayanan keperawatan.
MKEK ini memiliki wewenang bersama dewan pengurus PPNI sesuai tingkatnya, memantau perencanaan, proses dan evaluasi pelaksanaan etik keperawatan yang dilakukan oleh setiap perawat dalam pengabdian profesinya yang berada di wilayah, daerah keanggotaan atau lokasi tempat praktiknya masing – masing (DPP PPNI, 2017). Keberadaan MKEK ini dapat membantu perawat dalam memahami dilema etik yang terjadi dan cara mengatasinya. Perawata bergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional dalam membuat keputusan yang etik. Memahami konfrontasi yang mungkin muncul akibat keputusan yang diambil merupakan hal penting dalam menghadapi dilema etik. Pada dasarnya penyelesaian dilema etik ini tidak mengenai benar dan salah (Lachman, 2006).

DAFTAR PUSTAKA



Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. EGC: Jakarta.
Campbell, Margaret L.(2014). Nurse to Nurse: Perawatan Paliatif. Terjemahan oleh Dini Daniaty. Jakarta : Salemba Medika
DPP PPNI.(2017). Pedoman Perilaku sebagai Penjabaran Kode Etik Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
DPP PPNI.(2017). Pedoman Penyelesaian Sengketa Etik Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
Kartikawati, Dewi. (2015). Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Salemba Medika
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 903 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Masyarakat Diakses dari www.http://bandung.bpk.go.id/files/2010/04/2011_Permenkes_903.pdf pada tanggal 25 September 2018
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 19 tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Diakses dari www.http://peraturan.go.id/permen/kemenkes-nomor-19-tahun-2016-tahun-2016.html pada tanggal 25 September 2018
Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Keperawatan No 38 Tahun 2014. (2014). Diperoleh dari https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor%2038%20Tahun%202014.pdf
Robbins, S., & Judge, T. (2017). Organizational behavior. 15th edition. Boston: Pearson.
Zamanzahed, V, Jasemi, M, Valizadeh, Keogh, & Taleghani. (2015). Effective Factors in Providing Holistic Care: A Qualitative Study. Indian J Palliat Care. 2015 May-Aug; 21(2): 214–224. DOI:  10.4103/0973-1075.156506






Kamis, 01 Maret 2018

Budaya Keselamatan Pasien


Guys, pernah kah kalian berkunjug ke Rumah Sakit??? Pernahkan kalian memperhatikan hal - hal kecil contohnya jalur evakuasi, tanda petunjuk jalan, larangan - larangan atau bagaimana sikap para petugasnya? Suatu waktu saya berkunjung ke sebuah Rumah Sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatan saya. Karena antrian yang begitu lama, akhirnya saya menjadi sosok pengamat yang mendetail terhadap setiap hal yang terjadi di sekitar saya.
Pandangan saya tertuju pada seorang ibu muda dan anaknya yang baru berusia 3 tahun duduk di seberang saya. Karena Rumah Sakit yang saya kunjungi termasuk Rumah Sakit elit maka tidak jauh dari tempat saya duduk terdapat eskalator. Kalian pasti tahu, bagaimana polah tingkah anak berusia 3 tahun. Anak itu lari kesana kemari, dan nampak sang ibu sudah mulai kelelahan untuk mengikutinya. Benar saja satu waktu sang ibu lengah, telepon genggam nya nampak berdering dan dia sibuk mencari di dalam tas. Seketika sang anak berlari menuju ke eskalator. Apa yang ada dalam pikiran saya? sungguh sangat buruk. Saya sudah membayangkan akan muncul adegan macam di video - video viral " detik - detik balita terjatuh dari lantai 2" atau "eskalator kembali memakan korban". Rasa nya ingin berteriak tapi suara itu tercegat di tenggorakan saya.
Kisah ini berakhir dengan munculnya tokoh heroik, berseragam, yang langsung menggendong anak umur 3 tahun tadi dan memberikan anak tersebut pada ibu nya. Lega rasanya saya, tidak jadi menjadi saksi mata kejadian menyeramkan. Tokoh berseragam tadi bukan lah security ataupun pihak keamanan Rumah Sakit. Dia adalah petugas rekam medis yang kebetulan lewat di area tersebut karena harus mengantar beberapa berkas ke ruangan pemeriksaan yang ada. "Wah,baik sekali bapak tadi." itu yang ada di dalam pikiran saya. Tapi ternyata kepedulian yang baru saja saya lihat bukan kebetulan semata.
Mulai dari hal kecil, ketika ada pengunjung lain tidak sengaja menumpahkan milktea yang dibawanya. Petugas administrasi dengan segera memasang penanda lantai basah dan segera menelpon (entah kemana) yang jelas tidak lama kemudian petugas kebersihan datang membawa semua perlengkapan nya dan membersihkan tempat tersebut. Sebuah respon yang cepat dan sungguh luar biasa. Singkat cerita selesailah acara periksa memeriksa kesehatan saya. Keluar dari area Rumah Sakit saya membaca tulisan " Budayakan Keselamatan Pasien". Seketika saya tergelitik untuk tahu lebih dalam tentang hal tersebut terkait pengalaman yang saya dapati sore ini.
Budaya Keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar di dalam pelaksanaan keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien (Fleming & Wentzel, 2008). Upaya dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya keselamatan pasien (KKP-RS, 2008). Hal tersebut dikarenakan berfokus pada budaya keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien yang lebih baik dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja (El-Jardali, Dimassi, Jamal, Jaafar, & Hemadeh, 2011).
Budaya keselamatan pasien merupakan pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan kesehatan (Disch, Dreher, Davidson, Sinioris, & Wainio, 2011; NPSA, 2009). Pondasi keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan. Penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat akan menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan (Ilyas, 2004). Rumah sakit harus bisa memastikan penerima pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan kesehatan (Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2008). 

Penerapan keselamatan pasien di rumah sakit dapat mendeteksi resiko yang akan terjadi dan meminimalkan dampaknya terhadap pasien dan petugas kesehatan khususnya perawat. Penerapan keselamatan pasien diharapkan dapat memungkinkan perawat mencegah terjadinya kesalahan kepada pasien saat pemberian layanan kesehatan di rumah sakit. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman pasien yang dirawat di rumah sakit (Armellino, Griffin, & Fitzpatrick, 2010). Pencegahan kesalahan yang akan terjadi tersebut juga dapat menurunkan biaya yang dikeluarkan pasien akibat perpanjangan masa rawat yang mungkin terjadi (Kaufman & McCughan, 2013). Pelayanan yang aman dan nyaman serta berbiaya rendah merupakan ciri dari perbaikan mutu pelayanan. Perbaikan mutu pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan memperkecil terjadinya kesalahan dalam pemberian layanan kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien akan mendeteksi kesalahan yang akan dan telah terjadi (Fujita et al., 2013; Hamdan & Saleem, 2013). Budaya keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan (Jeffs, Law, & Baker, 2007). Hal ini dapat memperbaiki outcome yang dihasilkan oleh rumah sakit tersebut yaitu pelayanan yang membuat rumah sakit tersebut menjadi pilihan utama pasien - pasien nya.
Lalu bagaimana dengan beberapa Rumah Sakit yang belum mencapai budaya keselamatan pasien dengan optimal? Ada beberapa faktor yang menajdi penyebab kenapa budaya keselamatan pasien belum benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit. Pertama, rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu. Kedua, beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat. Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit.
Ketiga, orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari materi atau keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien. Keempat, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh unit terkait contohnya Dinas Kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position Dinas Kesehatan. Kondisi ini sudah mulai diatasi dengan adanya ketentuan akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi Rumah Sakit secara nasional dibawah lembaga independen Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) maupun secara internasional diabwah lembaga Join Commintee International (JCI). Mengharuskan Rumah Sakit memiliki standart mutu pelayanan yang baik salah satunya adalah Budaya Keselamatan Pasien.
Huwaaaa.... jadi belajar banyak sore ini tentang Budaya Keselamatan Pasien. Jadi kalau berkunjung ke Rumah Sakit kita harus patuh sama peraturan yang diterapkan. Bukan untuk mempersulit kita sebagai pengunjung, tapi demi keselamatan kita juga.

Minggu, 27 Agustus 2017

Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran Keselamatan Pasien


Kita yang sudah terjun langsung di dunia pelayanan kesehatan tentu sudah tidak asing lagi dengan sasaran keselamatan pasien atau biasa disingkat SKP. Dalam bahasa internasional kita juga mengenal IPSG (International Patient Safety Goals). Suatu target pencapaian yang ditetapkan oleh pemberi layanan kesehatan (bukan hanya rumah sakit) untuk menjaga agar pasien - pasien nya selamat dan terhindar dari masalah - masalah yang merugikan selama pelayanan kesehatan berlangsung.

Apa saja bagian dari Sasaran Keselamatan Pasien?
Kita mengenal ada 6 sasaran keselamatan pasien yang wajib kita ketahui (meski sebenarnya di luar sana sudah banyak berkembang banyak sekali ssasaran keselamatan pasien). Sebagai standart yang sering menjadi materi utama dalam persiapan akresitasi kita bisa mempelajari 6 sasaran keselamatan pasien. Berdasarkan standart KARS tahun 2017 yang mengadopsi dari Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety tahun 2007.

1. Mengidentifikasi Pasien dengan benar

Petugas kesehatan dapat menggunakan sedikit nya 2 (dua) dari 3 (tiga) jenis identifiaksi yang dimiliki pasien yaitu nama, tanggal lahir, nomor rekam medis (nomor induk kependudukan, barcode admisi pasien). Pada pasien sadar dan kooperatif, petugas kesehatan dapat meminta pasien untuk menyebutkan nama dan tanggal lahir kemudian dicocokan dengan nomor rekam medis yang ada di gelang identitas psien. Identifikasi yang benar ini dilakukan ketika pasien baru datang ke pelayanan kesehatan, akan mendapatkan terapi (oral, suntikan, tetes) , akan dilakukan tindakan pemeriksaan, akan dilakukan tindakan baik invasif maupun non invasif. 
Gelang identitas sendiri dibedakan menurut jenis kelamin, gelang merah muda untuk pasien perempuan dan gelang biru untuk pasien laki - laki.  Identifikasi lain yang digunakan adalah gelang atau kancing sebagai penanda kondisi tertentu. Kuning untuk pasien dengan resiko jatuh, merah untuk pasien dengan alergi dan ungu untuk pasien yang menolak dilakukan resusitasi atau DNR.

2. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif

Meningkatkan komunikasi efektif dilakukan dengan metode S.B.A.R yaitu Situation, Background, Assesment dan Recomendation. Metode ini dilakukan bila ada pelaporan antar petugas pemberi asuhan (PPA) untuk menghindari kesalahan informasi yang menyebabkan pasien mengalami kondisi yang memburuk. Selain itu juga metode ini digunakan pada saat serah terima pasien baik antar unit maupun antar pergantian jaga. Situation berisi tentang nama, umur, diagnosa, keluhan yang saat ini terjadi. Background berisi tentang hal - hal yang menjadi latar belakang kondisi terkini pasien. Assement merupakan tindakan atau pemeriksaan yang telah dilakukan. Sedangkan recomendation merupakan saran, usul atau rencana tindakan yang selanjutnya akan diberikan untuk mengatasi kondisi terkini pasien.
Saat melakukan komunikasi dengan metode S.B.A.R jangan lupa untuk melakukan write back, hear back, read back atau yang lebih akrab disebut tulis, baca, konfirmasi. Hal ini digunakan untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam penyebutkan terapi terutama pada obat - obatan dengan LASA (Look A like, Sound A Like) saya sertakan bahasa Indonesia nya NORUM (Nama Obat Rupa Obat Mirip).

3. Meningkatkan Keamanan Obat - Obatan yang harus Diwaspadai (High Alert Medication)

Ada beberapa jenis obat - obatan apabila pemakaian nya salah dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pada pasien. Obat - obat an tersebut harus di waspadai dan benar - benar diperhatikan dalam pemberian nya. Seperti disinggung sebelumnya yaitu obat - obatan LASA atau NORUM. Bentuk dari kemasan yang mirip juga nama yang terdengar menyerupai namun kandungan yang berbeda dapat menjadi bahaya yang besar bagi pasien. Maka pemberi layanan kesehatan harus benar - benar memperhatikan regulasi pelayanan obat - obatan. Pada obat - obatan High Alert sendiri akan diberi tanda berupa stiker merah dengan tulisan putih yang menandakan obat - obat an itu perlu kewaspadaan dalam pemberian nya.
Selain memperhatikan cross check obat dengan metode 6 benar / 7 benar/ 8 benar (banyak acuan dalam pemberian obat) kita juga perlu tahu jenis - jenis obat High Alert. Beberapa obat yang termasuk diantara Elektrolit konsentrat tinggi (NaCl 3%, KCl, Bicnat, MgSo4), Obat Kemoterapi, Insulin, Analgetik dosis tinggi (opioid), Obat golongan Narkotik, Obat - obat anti trombolitik (heparin), Vasodilatator dan Vasokontriktor. Dan semua jenis obat - obat an tersebut tidak boleh disimpan di unit rawat inap, peyimpanan khusus di unit farmasi dengan pengawasan ketat.

4. Memastikan Lokasi Pembedahan yang Benar, Prosedur yang Benar dan dilakukan pada Pasien yang Benar.


Memastikan benar lokasi, benar prosedur dan benar pasien dilakukan pada setiap tindakan invasif. Baik tindakan yang memerlukan sayatan maupun tidak. Contonya tetap dilakukan untuk tindakan - tindakan catheterisasi jantung dan endoskopi. Hal - hal yang dapat dilakukan untuk memastikan tindakan yang dilakuan benar adalah,
a) Beri tanda di tempat operasi atau biasa disebut dengan site marking. Pemberian tanda ini khususnya dilakukan pada area operasi yang memiliki kelateralan (dua sisi, kanan dan kiri), area yang beruas (seperti tulang belakang) dan jumlah multipel (misal jari tangan atau jari kaki)
b) Dilakukan verifikasi pra-operasi, biasa nya dilakukan saat sign in. Ketika pasien akan dilakukan operasi dengan mencocokan program sesuai dengan informed consent yang sudah ditanda tanganni pasien atau keluarga. Petugas juga harus memeriksa kelengkapan pemeriksaan pasien seperti hasil laborat, foto rongent, USG,MRI ataupun CT Scan.

c) Melakukan Time Out sebelum insisi kulit dimulai. Time Out biasanya dilakukan di dalam kamar bedah. ketika semua tim sudah siap maka perawat sirkuler akan memimpin time out dengan membacakan ulang nama pasien, usia, diagnosa, prosedur tindakan, lokasi tindakan, jenis anastesi yang digunakan, perkiraan lama pembedahan dan menanyakan pada petugas instrument jumlah awaal instrument yang disiapkan. Diakhir tindakan operasi perawat sirkuler akan menanyakan kembali jumlah instrument yang ada. Jumlah akhir harus sesuai dengan jumlah awal, apabila ada penambahan alat maka segera dilaporkan.
5. Mengurangi Resiko Infeksi terkait Pelayanan Kesehatan
Bagian ini erat kaitan nya dengan pelaksanaan hands hygiens di pelayanan kesehatan. Secara umum kita ketahui ada 2 (dua) macam yaitu hands rub dan hands wash. Walaupun bila kita menilik ke dalam pelayanan Rumah Sakit kita akan bertemu satu lagi jenis cuci tangan yaitu hands scrub atau cuci tangan bedah yang biasa dilakukan oleh petugas kamar bedah. Cuci tangan ini lebih panjang dan area yang dicuci mencapai siku tangan.
Hands Hygiens yang berlaku pada umum nya mengacu pada 6 langkah cuci tangan sesuai standart WHO. Yang membedakan hands rub dilakukan tanpa air mengalir, dengan menggunakan cairan disinfektan dan dilakukan selama 15 - 30 detik. Sedangkan  hands wash  dilakukan dengan sabun dan dibawah air mengalir selama 20 - 40 detik. Penting untuk diperhatikan adalah 5 momen cuci tangan. Sebelum kontak dengan pasien, sesudah kontak dengan pasien, sesudah terkena cairan tubuh pasien, sesudah kontak dengan lingkungan pasien dan setelah melakukan tindakan aseptik pada pasien.
6. Mengurangi resiko cidera pada pasien akibat terjatuh
Bagian ini diawali dengan pengkajian pasien dengan resiko jatuh. Untuk mengetahui apakah pasien kita memiliki resiko jatuh atau tidak kita dapat mengkaji dengan menggunakan skala Morse untuk pasien dewas dan skala hupty dumty pada pasien anak - anak. setelah dilakukan pengkajian dan diketahui pasien berisiko jatuh maka kenakan gelang atau kancing merah sebagai penanda. Selanjutkan lakukan edukasi dan penanganan pada pasien dengan risiko jatuh. Yaitu dengan memastikan lingkungan di sekitar pasien aman.

Nampak nya ada pekerjaan rumah yang besar bila menilik 6 (enam) sasaran keselamatan pasien tersebut. Ketika kita mengetahui bahwa keselamatan adalah hak setiap kita dan sebagai pemberi layanan kesehatan memiliki andil yang besar dalam pelaksanaanya maka kita melakukan prosedur demi keselamatan pasien bukan merupakan hal yang sulit dan menjadi detak dalam setiap pelayanan kita. (-chay-)

Rabu, 21 Januari 2015

Resolusi dalam Risoles



Berbicara tentang awal tahun sering kali kita dibawa pada resolusi – resolusi hidup. Dimana kita diperhadapakan pada satu semangat baru. Kita bisa melakukan intropeksi diri atas capaian – capaian kita di tahun yang lalu dan membuat target baru di tahun yang baru. Menyusun rencana untuk mencapai mimpi, mengurangi hal – hal yang kurang baik. Mempertahankan atau bahkan meningkatkan beberapa target yang dinilai positif. Dan tentunya membuat terobosan – terobosan untuk tahun yang baru.
Resolusi sendiri menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang merupakan kata benda secara harafiah memiliki arti putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan. Seperti bahasa Indonesia yang lain kata resolusi ini juga mengalami perkembangan makna. Dalam dunia fotografi resolusi erat kaitannya dengan konteks pencitraan digital.  Istilah resolusi dalam kamera digital berarti total spatial space seperti 640 x 480, 1052 x 768, 1280 x 1024. EFS-1 memiliki resolusi citra 1280 x 1024. Disini resolusi spasial berarti jumlah pixel mendatar (kolom) kali jumlah pixel tegak (baris) dari suatu gambar yang di tangkap kamera. Dalam konteks ini resolusi adalah ukuran ketajaman gambar yang ditangkap kamera.
Konteks kata resolusi ini terus berkembang menjadi satu istilah yang populer dalam menyambut tahun baru. Maka makna kata ini bergeser menjadi suatu keputusan yang bulat untuk berubah kearah yang lebih baik. Karena secara pribadi saya suka makan, saya sering sekali menghubungkan satu istilah dengan makanan. Kembang api tahun baru 2015 bau asapnya belum hilang maka moment ini juga erat kaitan nya dengan makanan. Saya tidak akan membahas masalah makanankhas saat tahun baru namun makanan yang erat dengan resolusi. Yap, risoles makanan yang sudah tidak asing lagi danhampir selalu kita temukan dalam paduan menu snack dan coffebreak.
Risoles disebut roinsolles atau orang Belanda bilang rissole,  Bangsa Belandalah yang membawa makanan ini ke tanah air pada masa penjajahan kue risoles menjadi kue favorit bangsa tersebut, dan dieropa kue ini sudah ada sejak abad ke 13. Awalnya saya mengira kue gurih ini berasal dari akulturasi kuliner cina seperti lumpia atau sosis solo. Karena pada saat itu banyak bangsa pribumi yang bekerja pada orang-orang Belanda, sehingga mereka dapat mencoba sekaligus mengerti cara pembuatannya dan akhirnya sampai saat ini kue tersebut menjadi salah satu kue favorit yang banyak dijual ditoko-toko kue diseluruh tanah air.
Dahulu Risoles adalah pastri berisi daging biasanya daging cincang, dan sayuran yang dibungkus dadar, dan digoreng setelah dilapisi tepung panir dan kocokan telur ayam. dan pada perkembangannya sampai saat ini isi risoles bisa berupa daging ayam, daging ikan, udang, jamur kancing, wortel, kentang, atau buncis. Bahkan ada menu risoles terbaru memadukan mie bihun atau cincangan daging dan rebung. Kreasi lain memberi isi risoles dengan telur puyuh, dan istimewanya ada pula yang berisi keju. Lepas dari takaran menu aslinya tapi kini risoles menjadi makanan yang bersahabat dengan lidah orang Indonesia.
Lalu apa hubungannya resolusi ini dengan risoles? Mungkin sedikit membingungkan namun karena pelafalan yang hampir sama maka berfikir bahwa dua kata ini sangat berkaitan. Ada yang tidak setuju, tentu banyak yang tidak setuju dengan  pendapat saya. Munculnya menu snack bernama risoles ini tidak akan muncul tanpa ada resolusi dari para pribumi yang saat itu bekerja pada pemerintahan kolonial Belanda. Dengan beberapa penyesuaian racikan bahan dasar pembuatan risoles, makanan yang resep awalnya berupa pastri ini bisa diterima lidah pribumi.
Jika menurut KBBI resolusi merupakan suatu tuntutan dan dalam bahasa fotografi berarti ketajaman gambar. Maka dalam kasus terciptanya menu risoles yang yummy di bumi pertiwi ini tidak jauh dari munculnya satu tuntutan yang memiliki ikatan yang kuat ( sebut saja muncul dari tuntutan yang tajam).  Meski munculnya secara tidak sengaja dan mengalir bersama waktu dimana penduduk pribumi mendapatkan kemampuan mengolah racikan bumbu karena bekerja di rumah atau restoran – restoran milik Belanda kala itu.
Sama hal nya dalam hidup dan dalam menyambut tahun yang baru, meski kadang resolusi – resolusi atas hidup kita ini terjadi begitu saja karena suatu tuntutan yang harus kita jalani namun adanya target yang merubah kita kearah lebih baik. Mungkin tidak harus muluk – muluk dalam membuat resolusi tahun ini, melihat apa yg kurang di tahun lalu dan apa yang perlu dicapai di tahun ini adalah hal yang cukup bijak. Dan suatu tuntutan yang berat itu tidak perlu berasal dari area luar diri kita. Layaknya para pekerja kuliner di masa kolonial Belanda yang mau tidak mau harus bisa memasak pastry yang kini disebut risoles sebagai tuntutan kerja mereka.
Semangat untuk menjadi pribadi lebih baik itu rasanya cukup menjadi tuntutan, agar hidup kita bisa dinikmati sesama dengan lidah mereka layaknya risoles yang kini bukan lagi menjadi menu petinggi kolonial Belanda saja. Tapi sudah jadi menu wajib bahkan disetiap arisan ibu – ibu PKK.
(dari berbagai sumber pendukung)

Selasa, 16 September 2014

GALAU?? Coba cek gaya hidup kita...


       Berawal dari postingan teman yang sebenarnya berckita, tapi setelah diresapi ternyata ada hal yang benar dan memang perlu dibagikan. Dalam postingan teman itu menyampaikan bahwa dia pernah ditanya oleh seorang teman, kurang lebih seperti ini. “mas, gimana caranya biar nggak gampang galau?” dan dia menjawab mungkin kamu perlu makan makanan yang bergizi. Seolah tidak ada hubungannya karena ke-galau-an berhubungan dengan psikologis  kita. Sedangkan makan makanan bergizi itu berhubungan dengan kondisi fisik.
Merenung singkat maka teringat dengan ungkapan yang sangat terkenal. Mens sana in corpore sano adalah sebuah kutipan terpopuler dalam dunia kesehatan dan olahraga. Berasal dari sebuah mahakarya seorang pujangga Romawi, Decimus Lunius Luvenalis, yaitu Satire X. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa kuat, secara simpelnya saja bila tubuh kita sehat maka jiwa kita kuat. Jiwa yang kuat bisa diartikan jiwa yang tidak mudah stress, tenang menghadapi masalah, tidak mudah terpancing emosi atau dalam bahasa sekarang menjadi jiwa yang anti galau.
Secara medis, tubuh yang sehat adalah tubuh yang mampu melakukan fungsi fisiologisnya secara normal dengan baik. Termasuk di dalamnya adalah fungsi metabolisme. Lalu apa hubungannya dengan kondisi kejiwaan kita. Sistem di dalam tubuh kita ini berhubungan satu dengan yang lain. Ketika metabolisme dalam tubuh kita tidak lancar maka akan ada penumpukan – penumpukan zat – zat sisa metabolisme yang tidak seharusnya di dalam tubuh. Peningkatan zat sisa metabolisme ini akan mempengaruhi beberapa sistem lain. Bila penumpukan zat sisa metabolisme ini menumpuk pada sistem saraf jelas saja efek pertama yang kita rasakan adalah pegal – pegal pada anggota tubuh. Malangnya bila penumpukan itu terjadi di sistem saraf pusat atau otak yang berada di area kepala maka kita akan mudah sekali merasa pusing.
Sistem lain yang ada di dalam tubuh yang mungkin terkena efek penumpukan sisa metabolisme ini adalah sitem peredaran darah. Penumpukan sisa metabolisme dalam sistem peredaran darah akan mempengaruhi tekanan darah dengan cepat. Sehingga tekanan darah akan naik turun dengan tidak stabil. Tekanan darah yang naik dan turun dengan tidak stabil akan mempengaruhi kondisi emosinal seseorang. Hal ini akan menyebabkan kita mudah tersinggung atau malah kita menjadi pemurung. Tekanan darah yang tidak stabil juga akan mempengaruhi peredaran darah ke otak. Suplai oksigen dan sari – sari makanan menjadi tidak optimal di kirim ke otak. Kita menjadi sulit fokus dan tidak konsentrasi dalam berfikir. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi kita dalam kita menghadapi masalah yang terjadi di sekitar kita.
Penumpukan zat sisa metabolisme di  sistem pencernaan juga dapat mempengaruhi kondisi mental dan emosional kita. Penumpukan sisa metabolisme pada sistem pencernaan akan menghambat penyerapan sari – sari makanan dalam tubuh. Zat – zat gizi yang diperlukan oleh tubuh mungkin tidak diserap secara optimal. Sehingga kebutuhan energi dalam tubuh tidak terakomodir dengan baik. Dampaknya kita menajdi mudah lesu, letih dan lemah. Aktivtias sehari – hari menjadi terasa berat, semangat terasa drop dan tidak bergairah. Kita akan sering merasa malas untuk mengerjakan aktivitas kita. Kalau pun kita paksakan makan hasilnya juga tidak baik, karena pada akhirnya kita akan merasa sangat lelah. Suplai nutrisi yang kurang pada organ – organ vital tubuh juga membuat kita sulit berkonsentrasi.
Hormonal merupakan salah satu sistem tubuh yang sangat berpengaruh dan penghubung antara alam perasaan dengan kondisi fisik. Sering kali pada kondisi – kondisi hormonal tertentu misal masa subur atau masa pre-menstruasi pada wanita akan diikuti dengan gencatan – gencatan emosional yang tinggi. Atau munculnya hasrat dan rasa ingin diperhatikan oleh lawan jenis dengan lebih. Bila terjadi gangguan baik karena adanya penumpukan sisa – sisa metabolisme maupun karena ada kondisi tubuh yang kurang baik. Maka kerja sistem ini akan terganggu. Sehingga koordinasi antara alam perasaan dengan fisik kita.
Secara umum galau sendiri dapat terlihat dari perubahan perilaku secara keseharian. Karena kegalauan erat hubungannya dengan masalah mental dan alam perasaan. Orang dengan kegalauan biasanya lebih suka menyendiri atau murung, emosi labil dan sering berfikir tanpa menggunkan logika. Tiba-tiba saja otak kita jadi buntu dan tidak bisa berpikir dengan cerdas. Saat inilah kita sedang mengalami yang namanya galau. Perasaan tidak tenang, hampa, sedih, dan lainnya yang ditimbulkan oleh galau akan membuat kita kesulitan untuk berpikir. Untuk galau ringan biasanya ini terjadi selama 5-30 menit. Tapi untuk galau akut otak kita tidak bisa berpikir selama 1 hari bahkan bisa lebih.
Kegalauan dapat membuat seseorang menjadi stres, cemas, depresi dan panik. Kegalauan ini dapat pula menyebabkan gangguan pada tubuh seseorang, inilah yang disebut dengan Psikosomatik. Psiko artinya pikiran (psikologis) dan somatik artinya tubuh (badan/fisik). Yang anehnya penyakit fisiknya sendiri tidak dapat ditemukan secara pemeriksaan laboratorium, rongen, USG dan pemerisaan penunjang medis lainnya. Contoh gangguan-gangguan Psikosomatik yang sering ditemui diantaranya adalah sebagai berikut : Kepala, penderita akan merasakan sakit kepala yang berpindah-pindah, pusing, berkunang-kunang, rasa melayang, dan kepala terasa berat. Tetapi dari hasil pemerisaan labor dan CT Scan kepala hasinya normal-normal saja.
Dada, dada rasa berat, nafas terasa sesak, jantung berdebar-debar, dada rasa panas yang berpindah-pindah, tapi pada pemeriksaan rongen paru-paru, EKG dan Laboratorium darah hasilnya semua dalam batas normal. Perut, perut terasa mual, muntah, nyeri, kembung, panas yang berpindah-pindah dan ingin buang air kecil terus, tetapi hasil hasil pemerisaan labor dan USG nya tidak ditemukan kelainan apapun. Gangguan lainnya dapat berupa kulit gatal-gatal, mulut sering sariawan, susah tidur, kaki tangan merasa dingin, kesemutan, kebas, nyeri otot yang berpindah-pindah yang hasil pemeriksaan penunjang medisnya tidak ditemukan apa-apa secara bermakna.
Nyatanya kondisi jiwa dan tubuh kita saling berhubungan, maka benar saja apa yang disampaikan oleh kutipan populer Mens sana in corpore sano. Lalu kini menjadi PR penting adalah bagaimana menjaga agar kita tetap sehat secara jasmani dan rohani sehingga kegalauan itu pergi dari hidup kita. Pertama memang perlu kita perhatikan adalah pola hidup kita. Pola hidup yang sangat modern yang memvorsir segala sumber daya dalam hidup kita sering membuta kita tidak memperdulikan kesehatan tubuh dan kesegaran jiwa kita.
Sebenarnya mulai sejak dini jika telah menerapkan Pola Hidup Sehat, tentu akan menjadi kebiasaan yang baik untuk masa depan kita sendiri.  Untuk Hidup Sehat kita tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, kita bisa menerapkan Cara Pola Hidup Sehat yang baik dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari berbagai masalah kesehatan, seperti berikut ini:
Biasakanlah untuk bangun di pagi hari, lalu keluar kamar dan tarik nafas dalam-dalam. Udara pagi sangat baik untuk tubuh kita, sebab belum tercemar oleh polusi, sehingga akan membantu paru-paru kita tetap sehat dan oksigen yang diserap akan dialirkan menuju otak, sehingga kita dapat berfikir lebih baik. Selain itu kita juga perlu menghindari asap rokok, asap knalpot, dan debu. Bersihkan ruangan sekitar kita agar dapat berfungsi dengan baik dan menjaga kesehatan tubuh kita.
Air putih jauh lebih baik dibandingkan dengan minuman apapun. Maka dari itu dianjurkan untuk mengkonsumsi minimal 8 gelas air putih per hari, sebab air putih bermanfaat untuk menetralisir racun dalam tubuh serta melancarkan metabolisme dalam tubuh, sehingga tubuh akan lebih sehat, fit dan terhindar dari berbagai masalah kesehatan. Sama halnya dengan air, serat (fiber) sangat baik untuk melancarkan metabolisme dan pembuangan dalam tubuh, sehingga makanan yang telah dikonsumsi setiap hari tidak bertimbun menjadi lemak melainkan diubah menjadi energi. Cukupi asupan serat, protein dan karbohidrat yang seimbang.
Pola makan tidak sehat meliputi konsumsi makanan cepat saji, makanan berlemak, minuman beralkohol dan bersoda, serta merokok. Hal tersebut sangat tidak baik untuk kesehatan kita, maka dari itu ada baiknya jika kita menghindari pola makan tidak sehat, agar tubuh tetap sehat dan terhindar dari berbagai masalah kesehatan. Ada baiknya jika kita tidak melewatkan sarapan di pagi hari. Sebab sarapan pagi sangat bagus untuk mensuplai energi pada tubuh agar kita tetap sehat dan semangat menjalani hari-hari kita. Selain itu usahakan untuk mengkonsumsi berbagai makanan yang sehat bergizi, mengandung banyak vitamin, nutrisi dan serat yang dibutuhkan oleh tubuh.
Bekerja keras itu baik, namun ada baiknya jika kita meluangkan waktu untuk beristirahat. Telah dianjurkan untuk tidur cukup 7-8 jam perhari dan olahraga yang teratur. Jangan memporsir diri dengan satu kegiatan. Tidur terlalu lama dan olahraga tanpa kenal waktu juga bukanlah hal yang baik. Semuanya perlu dilakukan dengan seimbang. Olahraga yang teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan tubuh, seperti akan lebih giat, menurunkan tekanan dara tinggi, menguatkan tulang-tulang, meningkatkan HDL(kolesterol yang baik), mencegah kencing manis, menurunkan resiko kanker, mengurangi stress dan depresi, dan juga akan memberikan kebugaran.
Jadi bila kita mudah sekali merasa galau, dengan kondisi yang serasa menggantung dan tidak menentu. Mungkin juga kita sulit move on dari kondisi kita sekarang, entah karena pasangan, pekerjaan, tuntutan hidup atau sekedar gadget impian. Mungkin kita perlu memperhatikan pola hidup kita. Apakah benar kita sudah hidup sehat sehingga sisa – sisa metabolisme yang berbahaya itu tidak mengganggu sistem kerja di dalam tubuh kita. Mari perbaiki pola hidup kita agar kita bisa tetap sehat, tetap semangat dan tetap bisa membagi manfaat.(berbagai sumber)

Minggu, 15 Juni 2014

kamera DSLR vs CAPRES



Kamera DSLR sekarang ini bukan lagi menjadi barang yang mahal. Dengan berkembangnya dunia elektronik atau yang biasa disebut gaget kamera DSLR sepertinya sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Entah yang memang hobi fotografi, atau memang tuntutan sosial sehingga sudah tidak pantas lagi kalau hanya menjinjing kamera pocket.
Secara pribadi juga terbawa arus dalam dunia yang demikian. Karena tidak sengaja hidup ditengah – tengah teman dan sahabat yang hobi atau memang pekerjaan nya berhubungan dengan fotografi. Tapi kamera DSLR menjadi salah satu incaran manis dari bertahun – tahun silam. Alasan cukup simple, banyak hal dan fenomena di dunia ini yang sangat sayang untuk tidak diabadikan. Semua sisi dan semua bagaian punya kisah dan nilai seni nya sendiri.
Penantian bertahun – tahun  itu pun akhirnya terbayar setelah memantapkan diri untuk membuka tabungan dan menukarnya dengan kamera DSLR. Karena hidup di tengah – tengah orang dengan latar belakang fotografer baik yang professional, amatiran sampai yang ingusan, maka saran dan masukan dari mereka seputar memilih merk kamera DSLR merujuk pada 2 merk ternama. Bukan iklan, saya tidak dapat komisi atau pun royalty atas tulisan ini. Yah, tentunya kita semua sudah akrab dengan Canon dan Nikon. Dua merk yang cukup merajai pasar fotografi akhir – akhir ini karena keunggulan masing – masing.
Pilihan tersulit adalah saat menjatuhkan pilihan untuk memilih 1 diantara 2 merk yang punya spesifikasi dan keunggulan masing – masing. Ketika bertanya pada orang – orang terdekat ternyata tidak menyelesaikan masalah. Karena beberapa teman yang sudah menggeluti dunia fotografi terlebih dahulu memberikan rekomendasi merk sesuai merk yang mereka pakai. Benar saja ketika mereka menggunakan Canon maka mereka akan membeberkan semua kebaikan nya dari a – z dan begitu saya menanyakan bagimana dengan merk Nikon dengan spesifikasi yang sama. Bak sales saja mereka meberikan gambaran tentang kelemahan – kelemahan merk tersebut. Hal ini berlaku juga kebalikannya.
Tidak kurang akal, tentunya kakek kita yang satu ini tahu segalanya. Siapa lagi kalau bukan si embah google. Maka saya googling tentang 2 merk kamera DSLR ini. Tentunya dengan spesifikasi yang sesuai dengan kantong saya. Iya kantong manusia nanggung, baru saja lepas dari gelar mahasiswa dan baru mengarungi dunia persilatan maksudnya dunia pekerjaan. Namun hasil yang didapat sama saja, pada akun – akun pecinta Canon, maka semua keunggulan nya dijelaskan secara mendetail dan yah kekurangan nya dibahas tapi cukup dengan bahasa yang datar. Hal serupa juga saya dapati dari laman – laman penggandrung Nikon. Bahkan ada laman khusus yang membandingkan kehebatan ke duanya. Melihat dari banyak sisi, dari sistem barterainya, kekuatan lensa, optical zoom, kekuatan memori, kualita gambar hingga fitur yang digunakan. Semua dbahas tuntas dan lugas, tapi tetap sama saja untuk awam seperti saya dengan pemaparan panjang lebar macam itu malah membuat saya makin bingung mau pilih yang mana.
Akhirnya, setelah membandingkan harga dan kesesuaian dengan kocek saya. Space harga antara kedua merk ini pun tak berbeda jauh. Pilihan akhirnya dijatuhkan atas dasar rasa mantap dan naluri bahwa 1 diantara 2 merk ternama ini lebih cocok untuk saya. Seorang awam yang mencoba menilai dengan berbagai pertimbangan untuk bisa mendapatkan kamera DSLR terbaik yang di dambakan.
Iklim yang memanas akhir – akhir terkait pemilihan capres dan cawapres 2014 ini mungkin memberikan perasaan yang sama bagi awam seperti ketika saya memilih kamera DSLR. Disuguhi berita tentang kebaikan capres no.1 lalu disuguhi berita capres no.2. Di waktu berikut nya disuguhi rekam jejak yang tidak baik dari capres no.1 lalu disuguhi fakta – fakta pencitraan capres no.2. bahkan ada 2 stasiun TV swasta yang dengan getol dan mati – matian saling menyudutkan. Fenomena ini membuat beberapa bapak dan ibu di rumah juga memanas. Pasal nya dengan dalih melihat perkembangan pilpres terkini para bapak menonton berita. Hasilnya sang bapak itu akan mengumpat sendiri atau dengan heboh mengagung – agungkan capres yang diberitakannya. Jelas hal ini membuat para ibu mulai bosan dan mengganti channel melihat sinetron. Namun sama saja drama juga yang ditayangkan sehingga efek yang muncul adalah saling berebut (belum ditambah demam piala dunia-red).
Dihadapkan pada pilhan yang sebenarnya tidak sulit, karena saya yakin setiap orang sudah punya tokoh unggulannya. Saya yakin mereka punya pemikiran sendiri saat menjatuhkan pilihan. Sudah menimbang dan dengan akal sehat tanpa paksaan (apa pula kalimat ini.. heheheh). Namun opini yang muncul di public membuat orang awam macam saya ini kerombang – ambing dalam tekanan media sosial yang semakin jahat. Ya, tentu saja karena permainan persepsi sebagian orang yang mencoba mempengaruhi orang awam macam saya ini yang akhirnya menghiperbola kan kabar – kabar yang sebenarnya wajar menjadi seolah tidak wajar dan bahkan menjijikan.
Sama seperti teman – teman saya yang sudah terlanjur fanatic dengan salah satu merk DSLR. Sehingga ketika mereka membagikan ilmu nya kepada saya seolah seperti sales bagi slah satu produk padahal mereka tidka dibayar sepeserpun oleh perusahaan tesebut. Kembali menurut teman saya yang orang PR (public relationship) inilah yang dimanakan public marketing. Membuat suatu opini public agar orang tertarik pada produk yang ditawarkan. Saya rasa ini sama dengan para capres yang sedang “memarketingkan” diri mereka masing – masing agar laku di psar pilpres tgl 9 Juli 2014 kelak.
Memilih kamera DSLR saja saya berfikir panjang, tentunya dalam memilih preseiden juga harus demikian. Mungkin akan muncul pikiran skeptis tentang pilpres ini sama hal nya dengan memilih kamera DSLR. “Halah, cuma kamera aja kok ribut. Semua sama yang penting bisa jepret foto.” Itu ungkapan salah satu teman (juga) yang memang tidak terlalu suka dunia fotografi. Tentu kaget mendengarnya, meski saya ini pemula dan sangat amatir. Tapi tentu dalam membeli barang saya tidak ingin “keblondrok” (ungkapan jawa, salah memilih barang kualitasnya buruk tapi harga nya mahal). Meski baru belajar dengan DSLR tentu ingin belajar menggunakan DSLR yang bagus sehingga pada waktunya nanti bisa pakai DSLR dengan type yang lebih tinggi dan benar – benar memahami penggunaanya. Ibarat kata pake kamera DSLR tapi tidak hanya bisa autofocus.
Pandangan demikian juga muncul dalam pilpres. Ada satu broadcast yang menuliskan “siapa pun presidennya nanti toh kita tetap harus kerja untuk mengisi perut kita sendiri”. Entah dari sapa mula nya tulisan ini tapi ini menyebar cukup cepat diantara mengguna media sosial. Saya merasa bodoh dengan pemikiran itu. Jelas saja siapapun yang jadi presiden mereka punya hak membuat kebijakan, entah ini menaikan atau menurunkan gaji, mengubah standart UMR atau bahkan menghapuskan sistem out sourcing. Belum lagi kebijkan import beras, import BBM, kebijakan pajak yang akhirnya akan berpengaruh pada pemasukan dan pengeluaran kita. Jadi secara langsung dan tidak langsung siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan berdampak pada hidup kita.
Memilih berdasarkan keyakinan dan kemantapan bahwa sang capres akan memberikan kondisi yang jauh lebih baik. Hal itu kembali ke hati kita masing – masing, karena sama seperti saya akhirnya memilih salah satu merk DSLR maka kita juga seharusnya demikian dalam pilpres ini. Ketika saya menjatuhkan piiihan pada salah satu merk kamera DSLR tentu kamera dengan merk tesebut punya banyak keunggulan namun juga punya kelemahan. Tidak ada hal yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Jadi kalau kita mencari presiden yang setengah dewa tentu tidak ada. Mereka semua punya kelemahan, tidak semua hal yang mereka sampaikan dalam debat itu sesuai pemikiran mereka. Ada tim sukses dan tim ahli yang dipersiapkan untuk menggodok setiap materi yang mereka bawakan dalam debat. Saya rasa teman – teman mahasiswa yang biasa ikut lomba debat sangat mengerti hal ini. Itu juga yang mungkin tidak diketahui banyak awam macam kita.
Saya sendiri bagaimana? Saya mendukung siapa? Beberapa waktu lalu saya pernah menulis di akun pribadi saya : “kalau ada capres yg berkomitmen men-sah kan RUU Keperawatan maksimal 6 bulan setelah terpilih... yakin aku pilih dia.... — bersama Ners Harmoko dan 7 lainnya.” Jadi inilah jawaban saya kepada siapa pilihan akan saya jatuhkan. Dan sejauh ini belum ada satupun capres yang menyatakan dukungannya pada RUU Keperawatan yang masih tidak jelas nasib nya. Mengapa RUU Keperawatan, karena inilah legalita yang kami (perawat) butuhkan. Bukan hanya kenaikan gaji saja, tapi kami perlu regulasi yang jelas. Silahkan rekan – rekan perawat melihat seberapa banyak STR (surat tanda register atau dulu SIP surat ijin perawat) yang tidak jelas dan belum jadi. Padahal itu syarat kita untuk bisa merawat, ibarat pengendara itulah SIM kita. Itu karena kita tidak punya council tidak sama seperti bapak dan ibu dokter yang punya UU sendiri dan council sendiri sehingga STR beliau – beliau nya dalam  minggu dan paling lama  bulan sudah jadi.
Dan inilah kita sebagai awam, mengembalikan segala pilihan pada hati dan pikiran kita. Entah apapun tendensi dan tujuan kita, tapi meski berada di tengah berbagai asumsi golput bukan pilihan terbaik sobat.