Serasa seperti membuka kembali
lembaran buku harian baru ketika melangkah melawati tahun 2013. Banyak kisah
dan kasih yang terbesit dalam perjalan 365 hari ini. Bukan hanya kisah – kisah
mellow drama ala sinetron Indonesia. Atau malah kisah horror yang berujung pada
kisah sensual para pemainnya. Kisah ini tentang kehidupan real dan nyata hal
yang kita alami sehari – sehari yang sering tidak kita sadari atau malah
cenderung kita abaikan. Mengakhiri tahun 2013 dan mengawali tahun 2014 merupakan salah satu moment dimana kita bisa
merefleksi dan merasakan betapa luar biasanya Tuhan meciptakan kita di dunia
ini.
Melihat tahun 2013 rasanya tidak
ada bedanya dengan tahun – tahun lainnya. Aku lebih suka mengamati dari sisi
yang berbeda sehingga aku dapat melihat dan merasakan hal – hal yang mungkin
terlewatkan. Memasuki tahun 2013 aku dipaksa untuk masuk dalam lingkungan baru,
dengan tanggung jawab dan tugas baru. Meski sebenarnya aku merasa sama saja,
yah karena harus kembali masuk rumah sakit tempat yang biasa aku datangi untuk
melaksanakan praktek klinik. Tapi kini aku bukan lagi seorang mahasiswa
praktik. Aku seorang karyawan sekarang, yap aku sudah bekerja.
Masuk dunia baru, bertemu dengan
orang – orang baru, berpapasan dnegan aturan – aturan baru. Jadi ingat “dimana
bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Dimana kita berada kita harus
menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di tempat itu. Mungkin sebagian
dari kita mengalami ini di tahun 2013 lalu, masuk di lingkungan baru dan harus
beradapatasi. Menyesuaikan diri dengan lingkungan ternyata tidak semudah aku
menghafal materi IPA jaman SD dulu tentang bagaiman bunglon menyesuaikan diri
dengan lingkungan atau bagaimana putri malu menyesuaikan diri saat di sentuh.
Sungguh itu adalah hal yang menyita waktu dan tenaga.
Tidak ada dan tidak pernah ada
standart pasti norma yang berlaku di lingkungan baru. Rule yang paling aman
adalah mengikuti standart norma yang sudah diajarkan jaman sekolah dulu. Itu
pikirku dulu, setelah bertemu dengan banyak orang ternyata standart norma
setiap orang itu berbeda. Ada beberapa orang yang tidak begitu peduli dengan
sopan santun kita. Sebagian lain sangat sensitive pada hal – hal kecil dan
menganggap itu melecehkan padahal kadang itu keluar begitu saja sebagai respon
spontan atas suatu sikap maupun percakapan. Ada bahkan yang dimuka nampak biasa
saja namun di belakang mencibir kesana kemari. Yah, itulah dunia.
Masuk ke lingkungan baru itu
artinya berpisah dengan lingkungan atau orang – orang yang sudah lama bergaul
dengan kita. Sejujurnya itu juga menekan karena kehilangan sosok yang sudah
mengenal kita dan mau menerima kita satu paket. Paket hemat, layakanya di food
court bayar cukup 15.000 sudah dapat nasi, ayam goreng, sambal dan lalapan plus
minuman tinggal milih mau air mineral atau teh manis. Sama seperti menjalin
relasi dengan orang lain, mau tidak mau kita akan mendapatkan tawa nya, tangis
nya, senyum nya, marah nya, pengertiannya bahkan keegoisannya. Dan kehilangan
orang – orang itu memaksa kita dari awal lagi membangun relasi. Ada yang
membangun dengan janji, membangun dengan ketulusan, membangun dengan peraturan,
membangun dengan kebutuhan yang lebih parah ada yang membangun relasinya dengan
kemunafikan.
Menilik kembali ke diri, dan pada
akhir tahun ini diperadapkan pada pilihan untuk move on dan mencapai mimpi. Atau
stay dengan kondisi yang ada dengan lingkungan yang lebih mendukung stagnasi
namun semua terkendali. Ketimbang memperjuangkan perubahan dan gambling
mengusahakan sesuatu yg lebih baik. Kondisi seperti ini lah yang menekan diri
secara pribadi. Untuk sementara mengabaikan sekitar dan fokus pada diri sendiri
yang sudah mulai terkontaminasi. Dengan gaya hidup yang lebih suka mencari aman
ketimbang berani berpetualang.
Hal seperti inilah yang sering kita
alami ketika kita mulai memasuki dunia kerja. Jaman kuliah menjadi aktivis yang
lantang menyerukan perubahan namun ketika sudah mulai bekerja dengan berbagai
pertimbangan termasuk adanya SP (surat peringatan) dan sanksi – sanksi lain
kita jadi lebih memilih untuk diam dan membiarkan kondisi yang tidak sesuai
dengan idielisme kita berlangsung di depan mata kita. Yah, seolah kita tutup
mata. Kita hanya bisa melakukan 2 hal jika sudah terlanjur terseret ke dunia
ini. Diam, pura – pura tidak tahu karena bertentangan dengan ideal kita, namun
tidak melakukan apa – apa. Atau justru ikut terjun ke dalamnya dan mengikuti
arus yang ada.
Sehingga tidak salah bila putra – putri
terbaik bangsa lebih memilih untuk berprestasi di luar negeri. Dengan alih –
alih go internasional atau dengan
penghasilan yang lebih. Nyatanya idealisme mereka lebih dihargai di sana
ketimbang di negerinya sendiri. Yang penuh loby – loby dan berbagai birokrasi
yang berbelit. Kondisi lain yang tidak kalah membuat satu dilema adalah adanya
cibiran dari orang – orang sekitar. Dan justru yang mencibir adalah orang –
orang yang memiliki latar belakang sama khususnya dalam dunia pekerjaan. Bagi mereka
yang tergolong orang cuek mungkin tidak begitu bermasalah. Namun bagi mereka
yang tergolong para pemikir maka hal tersebut akan menjadi suatu pemikiran yang
berat. Tentunya karena akan berhubungan dengan perasaan diterima di komunitasnya.
Meghadapai hal seperti ini, bila
kita tidka membuka relasi lain untuk diri kita maka tinggal tunggu waktu saja. Kita
akan menjadi pribadi yang stagnan dan tidak beranjak dari titik nyaman kita
atau malah kita menjadi pribadi yang berambisi namun menghalalkan segala cara. Tetap
tinggal atau resign dari area pekerjaan seperti itu menjadi pilihan yang cukup
berat. Namun bila tidak dimulai dari diri sendiri maka di lokasi kerja manapun
akan tetap mengalami kondisi demikian. Mencari cara menikmati dan tetap
memiliki komunitas yang se-visi membuat hidup kita dalam rutinitas pekerjaan
menjadi tidak membosankan. Mendapatkan teman berbagi dan teman yang setia
mengoreksi kinerja kita dengan jujur dan tanpa keinginan untuk meyenangkan
hati.
Apapun bentuk komunitas itu, dimana
disana kita bebas menjadi diri sendiri. Tidak terhalang dengan peraturan dan
sanksi. Kita bebas mengembangkan diri dan mencapai apa yang kita ingini. Dengan
adanya kebebasan jiwa meski berada di area yang penuh tikung menikung atau gencet
mengencet kita bisa tetap stay firm. Tetap
kuat dan bersemangat mengerjakan tanggung jawab kita. Because profesion not only occupation but also passion.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar