Kamis, 16 Januari 2014

BPJS, yang MURAH tapi belum tentu AMAN



Baru kurang lebih 2 minggu atau 15 hari mulai diberlakukan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) atau  orang – orang lebih senang menyebut BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Ini mungkin menjadi angin semilir bagi para buruh yang pada masa sebelumnya ikut JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) namun tidak diikutkan dalam jaminan kesehatan. Mengingat program JAMSOSTEK ini punya 4 item (jaminan kesehatan, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan kecelakaan kerja). Biasanya para pengusaha untuk menghindari potongan yang terlalu tinggi hanya mengikutkan dalam 3 program saja. Sehingga kesehatan para karyawan (buruh) tidak tercover dengan baik.
Lepas dari tuntutan para buruh, program pemerintah ini (JKN) menyisakan banyak masalah dan pro – kontra. Selain program ini belum jelas bagaimana sistem pembayarannya. Pergantian sistem dari ASKES ke JKN ini lebih rumit dalam prosedur pelaksanaannya. Banyak pihak medis yang berkeluh kesah atas diberlakukannya program ini. Sistem rujukan dan dokter keluarga serta panjangnya antrian saat mendaftar membuat bukan hanya para pekerja di dunia kesehatan namun juga pasien harus bekerja keras.
Pihak rumah sakit khususnya swasta, mengakali program ini dengan pembatasan bed untuk pasien dengan JKN. Sehingga masih ada bed untuk pasien umum yang membayar penuh. Tujuannya agar tetap ada perputaran uang dan menghindari rugi yang terlalu tinggi. Kondisi ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan.perpindahan dari sistem lama dimana kita mengenal beberapa jaminan kesehatan milik pemerintah seperti ASKES, JAMKESMAS, JAMKESDA maupun JAMPERSAL untuk ibu hamil ke JKN dengan berbagai kebijakannya seolah memihak masyarakat. Namun dalam sisi lain juga memberatkan masyarakat. Dulu PNS yang ikut ASKES bila dirawat di RS seumpama jatah kamarnya kelas 2 lalu yang bersangkutan menginginkan naik ke kelas 1. Maka dia hanya cukup membayar sisa biaya dari total biaya yang di tanggung oleh ASKES. Namun sekarang, bila yang bersangkutan menghendaki naik kelas ke kelas 1, maka JKN nya dianggap tidak ada. Dia harus membayar penuh biaya kelas 1.
Dan untuk waktu dekat ini, sistem yang akan dirubah ke JKN adalah ASKES terlebih dahulu. Sehingga semua PNS akan memakai JKN. Untuk JKN pengganti JAMKESMAS dan sejenisnya masih dalam proses penyesuaian sistem. Sehingga mungkin untuk 3 bulan hingga waktu yang belum bisa ditentukan masyarakat tidak mampu yang dulu bisa gratis berobat ke PUSKESMAS bahkan sampai ke RS. Dari yang Cuma batuk pilek sampai dengan yang harus operasi, cuci darah bahkan kemoterapi. Sementara ini harus masuk sebagai pasien pribadi. Hal ini juga terjadi pada pasien JAMPERSAL, pasien – pasien dengan  kondisi hamil.
Sebelum tahun 2014 ini diberlakukan JAMPERSAL atau jaminan pelayanan ibu bersalin. Sama hal nya dengan nasib teman – teman nya yang lain dalam rangka penetapan JKN bagi seluruh rakyat Indonesia maka JAMPERSAL untuk sementara di hilangkan sampai sistem JKN berjalan seperti yang direncanakan. Malangnya ibu – ibu bersalin dengan biaya minimal namun harus mendapatkan pelayanan maksimal karena berkaitan dengan kondisi kesehatannya tidak dapat ditunda hingga sistem JKN ini siap. Dan kondisi ini nyatanya dialami oleh seorang ibu di kota Semarang.
Seorang ibu yang hamil dengan kondisi berisiko, pre – eklamsi ini harus mengalami ditolak beberapa RS dulu sebelum akhirnya ditolong di salah RS swasta dengan alasan kemanusiaan. Ya, pre-eklamsi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan tekanan darah tinggi (di atas 140/90mmHg) dan jumlah protein yang abnormal dalam urin (proteinuria) setelah 20 minggu kehamilan pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal. Penyebab pastinya tidak diketahui pada kebanyakan kasus pre-eklamsi tetapi faktor-faktor, seperti kehamilan ganda, diabetes dan obesitas diketahui meningkatkan resiko terkenanya kondisi ini sewaktu kehamilan. Ketika pre-eklamsi berkembang, hal ini dapat menimbulkan retensi cairan, menyebabkan pembengkakan kaki, pergelangan kaki dan wajah. Gejala, seperti sakit kepala yang berat, perubahan penglihatan dan muntah dapat timbul. Pre-eklamsi ringan biasanya diawasi secara hati-hati tanpa suatu pengobatan dan akan menghilang setelah melahirkan. Namun, wanita dengan pre-eklamsi sedang atau berat memerlukan persalinan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa, seperti eklamsi (kejang pada wanita hamil) dan solusio plasenta, suatu keadaan yang ditandai dengan terlepasnya plasenta dari dinding rahim, yang menyebabkan perdarahan berat yang dapat mengancam jiwa ibu dan bayi. Pre-eklamsi juga dapat menghambat pertumbuhan janin di dalam kandungan. Pada kasus-kasus dimana kehamilan terlalu berbahaya untuk menginduksi kelahiran sang bayi, obat-obatan seperti antihipertensi dan kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan mempertahankan kehamilan sampai usia bayi cukup untuk induksi persalinan.
Sesuai kondisinya sang ibu harus menjalani persalinan dengan tindakan operasi sesar. Saat tiba di RS pemerintah sebagai pusat rujukan ibu itu tidak dapat masuk karena kapasitas di RS tersebut sudah full. Sudah bukan rahasia lagi untuk RS rujukan pemerintah ini, meski JKN masih dalam proses namun RS ini tetap kebanjiran pasien. Bahkan pasien sampai harus ada yang mengantri hingga 3 hari untuk bisa mendapatkan ruangan inap. Jadi penolakan itu tidak tanpa alasan, daripada sang ibu terkotang – katung nasibnya bukankah lebih baik RS pemerintah ini memberikan pilihan lain untuk ibu ini dirujuk ke RS swasta yang memiliki kuota JKN juga. Lalu ibu ini menuju RS swasta A, dan ternyata di RS swasta A ibu ini juga ditolak dengan alasan bahwa di RS ini ruang untuk ibu bersalin dengan JKN belum tersedia. Ibu ini bisa masuk sebagai pasien umum. Melihat kondisi keuangan dan biaya yang ditawarkan, jelas ibu ini mundur teratur.
Coba menuju RS swasta B, dan dengan alasan lain ibu ini tetap mendapatkan jawaban yang sama. Tidak bisa dirawat di RS tersebut. Akhirnya di RS swasta C, mengingat kondisi ibu yang sudah semakin melemah disertai resiko lain maka RS ini menerima ibu tersebut. Sejenak mengabaikan prosedur JKN apakah nantinya tagihan ibu ini akan dibayar oleh negara maupun resiko kerugian. RS swasta C ini berani mempertruhkannya demi alasan kemanusiaan. Saya sengaja tidak menyebut nama RS nya, hal ini untuk menghindari konflik. Namun bagian JKN yang sedang kita bahas ini seharusnya menjadi renungan untuk kita. Jika sistem yag belum siap tetap dipaksakan, berapa banyak orang miskin yang sedang sakit harus terkatung – katung seperti kisah ibu tadi.
Masih banyak pro dan kontra lain yang terjadi di luar sana. Termasuk pemeriksaan medis yang tidak sesuai indikasi maka tidak akan dibayarkan. Lalu bagaimana dengan hal tersebut. Bila kita masuk ke ruang Gawat Darurat atau UGD maka sering kita lihat pasien masuk langsung di infuse, di beri oksigen, direkam jantung (EKG), diambil darah untuk diperiksa laboratoriumnya. Dan jika nanti saat diperiksa tidak ada kelainan, maka pemeriksaan yang telah dilakukan itu tidak akan dibayar oleh pemerintah. Padahal kita tahu bahwa ketika dokter harus menegakan diagnosa pada pasien ada banyak pemeriksaan yang dijalani. Ini menjadi warning alert tesendiri bagi pihak RS.
Beda RS beda pula denga PUSKESMAS, jasa pelayanan dokter umum di PUSKESMAS hanya 2000 rupiah saja yang akan dibayar oleh pemerintah. Belum lagi untuk pemeriksaan dan pengobatan yang IUR (pembayarannya) juga belum jelas prosedurnya. Akhirnya meski JKN ini sudah ditetapkan dan sudah berjalan namun masih butuh banyak perbaikan. Jangan sampai pengobatan murah yang pemerintah siapan untuk masyarakat malah menjadi pengobatan yang tidak aman. Karena demi mempertahankan biaya yang murah semua alat, fasilitas dan obat – obatan dibatasi. Sehingga rentang waktu kesembuhan juga semakin panjang.

Sabtu, 04 Januari 2014

Reflection



Serasa seperti membuka kembali lembaran buku harian baru ketika melangkah melawati tahun 2013. Banyak kisah dan kasih yang terbesit dalam perjalan 365 hari ini. Bukan hanya kisah – kisah mellow drama ala sinetron Indonesia. Atau malah kisah horror yang berujung pada kisah sensual para pemainnya. Kisah ini tentang kehidupan real dan nyata hal yang kita alami sehari – sehari yang sering tidak kita sadari atau malah cenderung kita abaikan. Mengakhiri tahun 2013 dan mengawali tahun 2014  merupakan salah satu moment dimana kita bisa merefleksi dan merasakan betapa luar biasanya Tuhan meciptakan kita di dunia ini.
Melihat tahun 2013 rasanya tidak ada bedanya dengan tahun – tahun lainnya. Aku lebih suka mengamati dari sisi yang berbeda sehingga aku dapat melihat dan merasakan hal – hal yang mungkin terlewatkan. Memasuki tahun 2013 aku dipaksa untuk masuk dalam lingkungan baru, dengan tanggung jawab dan tugas baru. Meski sebenarnya aku merasa sama saja, yah karena harus kembali masuk rumah sakit tempat yang biasa aku datangi untuk melaksanakan praktek klinik. Tapi kini aku bukan lagi seorang mahasiswa praktik. Aku seorang karyawan sekarang, yap aku sudah bekerja.
Masuk dunia baru, bertemu dengan orang – orang baru, berpapasan dnegan aturan – aturan baru. Jadi ingat “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Dimana kita berada kita harus menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di tempat itu. Mungkin sebagian dari kita mengalami ini di tahun 2013 lalu, masuk di lingkungan baru dan harus beradapatasi. Menyesuaikan diri dengan lingkungan ternyata tidak semudah aku menghafal materi IPA jaman SD dulu tentang bagaiman bunglon menyesuaikan diri dengan lingkungan atau bagaimana putri malu menyesuaikan diri saat di sentuh. Sungguh itu adalah hal yang menyita waktu dan tenaga.
Tidak ada dan tidak pernah ada standart pasti norma yang berlaku di lingkungan baru. Rule yang paling aman adalah mengikuti standart norma yang sudah diajarkan jaman sekolah dulu. Itu pikirku dulu, setelah bertemu dengan banyak orang ternyata standart norma setiap orang itu berbeda. Ada beberapa orang yang tidak begitu peduli dengan sopan santun kita. Sebagian lain sangat sensitive pada hal – hal kecil dan menganggap itu melecehkan padahal kadang itu keluar begitu saja sebagai respon spontan atas suatu sikap maupun percakapan. Ada bahkan yang dimuka nampak biasa saja namun di belakang mencibir kesana kemari. Yah, itulah dunia.
Masuk ke lingkungan baru itu artinya berpisah dengan lingkungan atau orang – orang yang sudah lama bergaul dengan kita. Sejujurnya itu juga menekan karena kehilangan sosok yang sudah mengenal kita dan mau menerima kita satu paket. Paket hemat, layakanya di food court bayar cukup 15.000 sudah dapat nasi, ayam goreng, sambal dan lalapan plus minuman tinggal milih mau air mineral atau teh manis. Sama seperti menjalin relasi dengan orang lain, mau tidak mau kita akan mendapatkan tawa nya, tangis nya, senyum nya, marah nya, pengertiannya bahkan keegoisannya. Dan kehilangan orang – orang itu memaksa kita dari awal lagi membangun relasi. Ada yang membangun dengan janji, membangun dengan ketulusan, membangun dengan peraturan, membangun dengan kebutuhan yang lebih parah ada yang membangun relasinya dengan kemunafikan.
Menilik kembali ke diri, dan pada akhir tahun ini diperadapkan pada pilihan untuk move on dan mencapai mimpi. Atau stay dengan kondisi yang ada dengan lingkungan yang lebih mendukung stagnasi namun semua terkendali. Ketimbang memperjuangkan perubahan dan gambling mengusahakan sesuatu yg lebih baik. Kondisi seperti ini lah yang menekan diri secara pribadi. Untuk sementara mengabaikan sekitar dan fokus pada diri sendiri yang sudah mulai terkontaminasi. Dengan gaya hidup yang lebih suka mencari aman ketimbang berani berpetualang.
Hal seperti inilah yang sering kita alami ketika kita mulai memasuki dunia kerja. Jaman kuliah menjadi aktivis yang lantang menyerukan perubahan namun ketika sudah mulai bekerja dengan berbagai pertimbangan termasuk adanya SP (surat peringatan) dan sanksi – sanksi lain kita jadi lebih memilih untuk diam dan membiarkan kondisi yang tidak sesuai dengan idielisme kita berlangsung di depan mata kita. Yah, seolah kita tutup mata. Kita hanya bisa melakukan 2 hal jika sudah terlanjur terseret ke dunia ini. Diam, pura – pura tidak tahu karena bertentangan dengan ideal kita, namun tidak melakukan apa – apa. Atau justru ikut terjun ke dalamnya dan mengikuti arus yang ada.

Sehingga tidak salah bila putra – putri terbaik bangsa lebih memilih untuk berprestasi di luar negeri. Dengan alih – alih go internasional atau dengan penghasilan yang lebih. Nyatanya idealisme mereka lebih dihargai di sana ketimbang di negerinya sendiri. Yang penuh loby – loby dan berbagai birokrasi yang berbelit. Kondisi lain yang tidak kalah membuat satu dilema adalah adanya cibiran dari orang – orang sekitar. Dan justru yang mencibir adalah orang – orang yang memiliki latar belakang sama khususnya dalam dunia pekerjaan. Bagi mereka yang tergolong orang cuek mungkin tidak begitu bermasalah. Namun bagi mereka yang tergolong para pemikir maka hal tersebut akan menjadi suatu pemikiran yang berat. Tentunya karena akan berhubungan dengan perasaan diterima di komunitasnya.
Meghadapai hal seperti ini, bila kita tidka membuka relasi lain untuk diri kita maka tinggal tunggu waktu saja. Kita akan menjadi pribadi yang stagnan dan tidak beranjak dari titik nyaman kita atau malah kita menjadi pribadi yang berambisi namun menghalalkan segala cara. Tetap tinggal atau resign dari area pekerjaan seperti itu menjadi pilihan yang cukup berat. Namun bila tidak dimulai dari diri sendiri maka di lokasi kerja manapun akan tetap mengalami kondisi demikian. Mencari cara menikmati dan tetap memiliki komunitas yang se-visi membuat hidup kita dalam rutinitas pekerjaan menjadi tidak membosankan. Mendapatkan teman berbagi dan teman yang setia mengoreksi kinerja kita dengan jujur dan tanpa keinginan untuk meyenangkan hati.
Apapun bentuk komunitas itu, dimana disana kita bebas menjadi diri sendiri. Tidak terhalang dengan peraturan dan sanksi. Kita bebas mengembangkan diri dan mencapai apa yang kita ingini. Dengan adanya kebebasan jiwa meski berada di area yang penuh tikung menikung atau gencet mengencet kita bisa tetap stay firm. Tetap kuat dan bersemangat mengerjakan tanggung jawab kita. Because profesion not only occupation but also passion.