DILEMA ETIK, sebuah telaah jurnal karya Maria Imaculata Ose tahun 2015 di RSUD Dr. Saiful Anwar
Hasil pengamatan peneliti menemukan bahwa IGD RSUD Dr.
Saiful Anwar (RSSA) Malang merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki jumlah
kunjungan pasien di IGD tinggi namun tidak sebanding dengan jumlah perawat yang
bertugas. Berdasarkan hasil laporan tahunan RSSA Malang (2014), pasien IGD
terlantar yang diterima pada setiap tahunnya terus meningkat. Dilema etik
sering dialami oleh perawat IGD dalam merawat pasien terlantar dalam fase
menjelang ajal yang tidak memiliki identitas. Kesulitan akan timbul pada saat
perawat akan mengumpulkan, mengklarifikasikan data riwayat kesehatan pasien,
dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan akan tindakan yang akan
dilakukan. Fokus perawatan yang diberikan pada fase menjelang ajal adalah End
Of Life Care (Forero et al., 2012). Ketidakhadiran keluarga untuk
mendampingi pasien, dan tingginya beban kerja perawat yang tidak seimbang
dengan banyaknya pasien menyebabkan perawat tidak dapat fokus memberikan
pendampingan bagi pasien.
Berdasarkan hasil wawancara dalam studi pendahuluan, perawat
menjelaskan bahwa fokus perawatan adalah pasien-pasien yang berada dalam
keadaan gawat dan kritis, sedangkan pasien-pasien yang menjelang ajal bukanlah
pasien prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan perawat merasakan iba pada
pasien terlantar yang menjelang ajal karena tidak ada yang mendampingi sehingga
kemudian memunculkan dilema etik. Dilema etik dapat bersifat personal ataupun
profesional. Dilema etik sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan
tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu
pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama
memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi
semua kriteria.
3.2. Analisa Kasus: Dilema
Etik Perawatan Pasien terlantar di IGD
Berdasarkan
data dari penelitian Ose (2017) pasien terlantar tanpa keluarga di tangani IGD
RSUD dr. Saiful Anwar atau biasa disebut RSSA sebanyak 69 pasien di tahun 2012,
55 pasien di tahun 2013 dan 75 pasien di tahun 2014 dan diperkirakan jumlah ini
terus bertambah setiap tahunnya. Kondisi serupa tentu bukan hanya dialami oleh
RSSA saja, banyak rumah sakit lain juga berhadapan dengan kondisi yang sama.
Kedatangan pasien terlantar, tanpa keluarga, tanpa penanggung jaawab dan sering
tanpa identitas memunculkan dilema tersendiri bagi perawat yang menangani.
Penanganan
pada pasien terlantar yang menghadapi ajal ini seharusnya sama dengan pasien –
pasien lain. Penerapan konsep triage yang ada di ruang IGD tetap diterapkan.
Pasien di skrining sesuai kondisi yang dialami, bisa jadi pasien – pasien
menjelang ajal ini berada di label merah dimana kondisinya gawat darurat dan
membutuhkan penanganan yang cepat. Kondisi gawat darurat atau dalam emergency
severity index (ESI) menyebutnya kasus true
emergency merupakan kondisi mengancam nyawa. Bila tidak segera dilakukan
penanganan akan menyebabkan kematian atau kecacatan yang fatal pada pasien
(Kartikawati, 2015).
Kebutuhan
penanganan pasien gawat darurat yang cepat dan tepat sesuai dengan standar yang
berlaku merupakan suatu keharusan. Penanganan yang optimal tentu melibatkan
proses assesment, penegakan diagnosa
dan pemberiaan terapi yang optimal (Kartikawati, 2015). Berbagai penanganan
tersebut tentunya membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Pasien terlantar tanpa
penanggung jawab akan menimbulkan dilema etik saat pengambilan keputusan
terkait penanganan pasien. Berdasarkan PMK No. 903 tahun 2011 menyatakan bahwa
masyarakat miskin dan orang – orang terlantar menjadi tanggung jawab negara
melalui Dinas Sosial. Realita di
lapangan pasien – pasien terlantar ini sering sekali tiba di IGD pada malam
hari atau diluar jam kerja Dinas Sosial. Tentunya dalam penanganan yang
dilakukan bila menunggu pihak yang bertanggung jawab akan memakan waktu dan
penanganan pasien mengalami keterlambatan.
PMK
No. 19 tahun 2016 menyebutkan bahwa penanganan gawat darurat terpadu di tingkat
Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan tindakan yang komprehensif dalam
pelayanan emergency. Prinsip
penanganan dilakukan dengan segera untuk mencegah kematian maupun meminimalkan
kecacatan. Perawat yang bertugas di IGD harus melakukan implementasi yang tepat
sesuai hasil pemeriksaan. Pengambilan keputusan implementasi pada pasien
terlantar ini sering menimbulkan dilema etik. Pasien – pasien terlantar tidak
dapat memenuhi kebutuhan sosial dan emosional dengan baik. Berlawanan dengan
hal tersebut sebagai manusia mereka tetap mempunyai keinginan untuk
diperhatikan di akhir masa hidupnya (Campbell, 2014). Keputusan perawat ini
sangat berarti bagi pasien, karena di waktu – waktu terakhir inilah caring nampak nyata.
Profesionalitas
perawat dalam menghadapi berbagai konseunsi dan resiko dari tugas dan perannya
sangat diuji. Perawat diperhadapkan pada dilema etik pasien terlantar yang
menghadapi ajal di IGD dapat merasa sangat tertekan. Pemberian asuhan
keperawatan menurut Asmadi (2008) bukan hanya berfokus dalam pengobatan pasien
namun juga pada respon bio, psiko, sosial dan kultural dari pasien. Pemberian
asuhan keperawatan pada pasien menjelang ajal memberikan tekanan khusus
diantaranya perawat dihadapkan pada kenyataan kematian yang akan dialami,
menghadapi pasien dengan gejala – gejala yang tidak dapat terobati, menyaksikan
duka keluarga, berhadapan dengan masalah etik, ketidaksepahaman dengan disiplin
ilmu lain dalam memberikan pelayanan dan ketidakmampuan atau pengalaman dalam
merawat pasien sekarat (Campbell,2014).
Campbell
(2014) juga menuliskan tekanan yang muncul saat perawat memberikan perawatan
pada pasien mendekati ajal berasal dari tempat kerja, dimana tugas yang terlalu
banyak, kerja tim yang kurang efisien, ketersediaan ruangan yang kurang dan
mobilitas tinggi. Kondisi ini memungkinkan sekali perawat mengalami burnout. Kualitas lingkungan kerja yang
tidak baik diikuti dengan dilema – dilema etik yang terus muncul sepanjang
pekerjaan akan menurunkan kualitas kerja dari seorang perawat. Penurunan
kualitas kerja ditandai dengan emosi perawat yang tidak stabil dan rasa lelah
yang teramat sangat (Robbins, 2017). Penurunan kualitas kerja ini membuat
perawat menjadi apatis dan mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya sebatas
rutinitas.
3.3. Solusi Etik
1. Perawat
memiliki kemampuan membuat keputusan etik
Konsep keprofesian, keperawatan didasari oleh ilmu
pengetahuan dan tanggung jawab yang tinggi dari setiap individu, didasarkan
pada kelompok pengetahuan yang kokoh, dapat dipelajari dan diperbaharui melalui
penelitian. Selain itu dapat diajarkan melalui suatu proses pendidikan
kekhususan, mempunyai suatu organisasi yang kuat dan kohesif dan
praktisi-praktisisnya mempunyai sifat altruisme
yaitu keinginan untuk menolong orang lain (Citty, 1997). Pada pembuatan
keputusan etik dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu social contract and individual rights, obedience and punishment orientation dan maintaining the social order (DPP PPNI, 2017).
Perawat yang memahami
etik sebagai suatu keyakinan akan profesi yang dijalani. Aiken (2004)
menjelaskan etika adalah deklarasi tentang apa yang benar atau salah dan apa
yang seharusnya dilakukan. Dilema etik yang dihadapi perawat khususnya ketika
menangani pasien terlantar pada akhir masa hidupnya di ruang IGD ini hampir
tidak bisa dihindari. Kemampuan untuk melakukan asuhan keperawatan berpijak
pada tahapan tertinggi yaitu social
contract and individual rights adalah bagian yang di idam – idamkan.
Keperawatan sebagai profesi sudah tertata dengan baik. Aturan – aturan yang
berlaku sudah dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Semua
bentuk intervensi yang dilakukan bertujuan untuk mensejahterakan pasien dengan
beradasarkan pada kontrak – kontrak sosial yang sudah diakui secara hukum (DPP
PPNI, 2017).
Kemampuan diatas
membuat perawat dapat memilah dengan baik berbagai masalah etik yang mungkin
terjadi dalam tugasnya. Diperhadapkan dengan pasien yang terlantar dan
menghadapi ajal perawat dapat mengambil keputusan etik yang tetap mengutamakan
kesejahteraan pasien. Pada akhir hayatnya pasien end of life (EOL) dapat merasakan caring dari perawat.
2. Perawat
tetap memandang pasien sebagai manusia secara utuh
Keperawatan oleh Zamanzahed, et.al (2015) disebut suatu
pelayanan profesional yang meliputi aspek biologi, psikologi, sosial, dan
spiritual yang bersifat komprehensif ditunjukkan kepada individu, keluarga,
kelompok yang sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia untuk mencapai
derajat kesehatan optimal. Undang-Undang Keperawatan No 38 Tahun 2014 juga
menjelaskan keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun
sehat.
Perawat yang menyadari
tanggung jawab dan peran nya sebagai profesi pemberi layanan secara
komprehensif baik pada individu yang sehat maupun sakit akan mampu
menyelesaikan dilema yang muncul dengan tepat. Perawat memperhatikan prinsip otonomi (Autonomy)
meski pasien EOL dalam keadaan sekarat perawat tidak mengabaikan keinginan
individu untuk menentukan pengobatan yang terbaik. Keadilan (Justice), diartikan bahwa perawat
kewajiban untuk berlaku adil bagi semua orang. Meskipun pasien merupakan pasien
terlantar tanpa keluarga dan penanggung jawab bukan berarti pelayanan yang
diberikan akan berbeda dengan pasien lain. Prinsip penanganan kegawat daruratan
tetap dilaksanakan.
Fidelity adalah kewajiban individu untuk setia pada
komitmen yang dibuat untuk diri sendiri dan yang lain. Pengertian akan konsep
ini harus dipertahankan dalam kondisi dilema etik perawat tetap setia terhadap
tanggungjawabnya yang tertuang pada sumpah profesi. Beneficence atau kemurahan hari adalah persyaratan yang sangat tua
bagi penyedia layanan kesehatan yang melihat tujuan utama perawatan kesehatan
adalah melakukan kebaikan untuk pasien yang dirawat. Kemurahan hati ini yang
membantu perawat dapat memutuskan dilema etik khususnya yang berkaitan dengan
pembiayaan pasien terlantar.
Selanjutnya adalah nonmaleficence,
perawat dalam melakukan tugasnya sebagai bagian dari layanan kesehatan tidak
membahayakan mereka pasien, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Pasien EOL
dilindungi dari hal – hal yang membahayakan meskipun sebagai pasien terlantar.
Kejujuran (veracity) mengharuskan
perawat mengatakan yang sebenarnya dan tidak dengan sengaja menipu atau
menyesatkan pasien. Dalam dilema etik yang dialami secara praktis perawat dapat
tetap memberikan informasi secara jujur pada pasien atau pihak lain yang
terkait.
Paternalisme mengacu pada praktik yang
membatasi kebebasan individu tanpa memberikan persetujuan. Sikap paternalistik tidak memprioritaskan
pilihan atau keinginan individu. Mereka yang bertindak dengan cara
paternalistik berasumsi bahwa mereka lebih tahu apa yang baik untuk kondisi
selanjutnya. Konsep ini berlaku pada pasien EOL terlantar saat harus melakukan
tindakan – tindakan untuk mempertahankan kondisi pasien tetap stabil. Rasionalisme
membantu perawat untuk berfikir dan mengambil keputusan secara rasional pada
pasien EOL yang terlantar. Mengerti dampak akhir dari pelayanan yang diberikan
sehingga keputusan yang diambil tidak memunculkan dilema etik yang baru. Terakhir
adalah pragmatisme dimana perawat
mengklarifikasi ide secara obyektif melalui pemecahan masalah. Dalam kasus yang
terjadi prinsip ini dapat dilakukan dengan rekan sejawat, dokter atau
profesional pemberi asuhan lain untuk tetap mempertahankan ke obyektifan
keputusan yang diambil (Aiken, 2004).
3. Regulasi
pelayanan untuk menghindari burnout
pada perawat
Dilema etik yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan pelayanan yang berlaku. Peraturan dalam PMK no. 903 tahun 2011 jelas
mengatur bagaimana warga yang tidak mampu termasuk gelandangan mempunyai hak
mendapatkan pelayanan yang optimal. Sama seperti pasien pada umumnya, pasien
EOL yang terlantar juga harus dilakukan skrining, pengkajian dan intervensi
secara menyeluruh.Kebijakan secara nasional maupun daerah akan di kerucutkan
lagi menjadi kebijakan yang bersifat internal rumah sakit. Hal ini mengingat
kondisi rumah sakit yang berbeda antara satu dengan yang lain. Karakteristik
masalah yang dihadapi dan ketersediaan peralatan juga menjadi pertimbangan
penting.
Keberadaan regulasi
yang jelas ini juga dapat menghindarkan perawat di IGD mengalami burnout. Burnout atau penurunan kualitas kerja dalam suatu organisasi atau
pelayanan disebabkan salah satunya peraturan yang tidak jelas (Robbins, 2017).
Tidak adanya regulasi dalam bentuk kebijakan, pedoman, panduan hingga SOP di
IGD dalam menangani pasien terlantar dengan EOL akan membuat perawat terus
menerus bersinggungan dengan dilema etik. Kondisi ini tentu menimbulkan kondisi
yang tidak nyaman dalam lingkungan kerja. Bila berlangsung terus – menerus maka
penurunan kualitas kerja dari perawat IGD tidak akan terhindarkan.
Hasil uji fenomenologi
yang dilakukan Ose (2017) menyebutkan bahwa RSSA sudah memiliki kebijakan
sendiri terkait penanganan pasien terlanatar dengan EOL. Rumah sakit tetap
memberikan pelayanan yang optimal hanya sebatas pada pelayanan life saving. Pasien tetap merasa
dihargai dan memiliki pengalaman yang baik ketika melewati masa akhir hidunya,
demikian menurut Campbell (2014). Bila kondisi life saving ini sudah terlewati yang artinya pasien bisa selamat.
Maka dalam penanganan selanjutnya pihak RSSA menyerahkan pada pihak pemerintah
daerah. Hal ini sejalan dengan isi PMK no. 903 tahun 2011 yang menyatakan orang
miskin, gelandangan dan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah.
3.4. Impresi Solusi Etik
Berbagai solusi etik
yang dijabarkan diatas tidak mungkin terlaksana dengan optimal tanpa adanya
dukungan yang kuat dari organisasi profesi sebagai pembuat dan pengawas
terlaksananya kode etik keperawatan. Penekanan dalam penerapan solusi etik
dalam menghadapi dilema di area klinik didasarkan atas kemampuan perawat dalam
memahami masalah etik yang mungkin terjadi dan dukungan dari organisasi
profesi.
Dilema etik yang
terjadi memungkinkan munculnya ketidaksepahaman atau perbedaan pendapat antara
beberapa pihak. DPP PPNI (2017) menyatakan untuk menyelesaikan ketidaksepahaman
tersebut melalui hasill Munas IX dibentuklah MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Keperawatan). MKEK ini memiliki tugas pokok untuk membina anggota dalam
penghayatan dan pengamalan kode etik keperawatan serta membuat pedoman
penerapan etik dalam pemberian pelayanan keperawatan dan pedoman penyelesaian
sengketa etik dalam pelayanan keperawatan.
MKEK ini memiliki
wewenang bersama dewan pengurus PPNI sesuai tingkatnya, memantau perencanaan,
proses dan evaluasi pelaksanaan etik keperawatan yang dilakukan oleh setiap
perawat dalam pengabdian profesinya yang berada di wilayah, daerah keanggotaan
atau lokasi tempat praktiknya masing – masing (DPP PPNI, 2017). Keberadaan MKEK
ini dapat membantu perawat dalam memahami dilema etik yang terjadi dan cara
mengatasinya. Perawata bergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional
dalam membuat keputusan yang etik. Memahami konfrontasi yang mungkin muncul
akibat keputusan yang diambil merupakan hal penting dalam menghadapi dilema
etik. Pada dasarnya penyelesaian dilema etik ini tidak mengenai benar dan salah
(Lachman, 2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan.
EGC: Jakarta.
Campbell,
Margaret L.(2014). Nurse to Nurse:
Perawatan Paliatif. Terjemahan oleh Dini Daniaty. Jakarta : Salemba Medika
DPP
PPNI.(2017). Pedoman Perilaku sebagai
Penjabaran Kode Etik Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
DPP
PPNI.(2017). Pedoman Penyelesaian
Sengketa Etik Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
Kartikawati,
Dewi. (2015). Buku Ajar Dasar – Dasar
Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Salemba Medika
Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 903 tahun 2011 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Masyarakat Diakses dari www.http://bandung.bpk.go.id/files/2010/04/2011_Permenkes_903.pdf
pada tanggal 25 September 2018
Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 19 tahun 2016 tentang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Diakses dari www.http://peraturan.go.id/permen/kemenkes-nomor-19-tahun-2016-tahun-2016.html pada tanggal 25
September 2018
Presiden
Republik Indonesia. Undang-undang Keperawatan No 38 Tahun 2014. (2014).
Diperoleh dari https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor%2038%20Tahun%202014.pdf
Robbins, S., & Judge, T. (2017). Organizational
behavior. 15th edition. Boston: Pearson.
Zamanzahed,
V, Jasemi, M, Valizadeh, Keogh, & Taleghani. (2015). Effective Factors in
Providing Holistic Care: A Qualitative Study. Indian
J Palliat Care. 2015 May-Aug; 21(2):
214–224. DOI: 10.4103/0973-1075.156506