Senin, 01 Oktober 2018


DILEMA ETIK, sebuah telaah jurnal karya Maria Imaculata Ose tahun 2015 di RSUD Dr. Saiful Anwar


Hasil pengamatan peneliti menemukan bahwa IGD RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki jumlah kunjungan pasien di IGD tinggi namun tidak sebanding dengan jumlah perawat yang bertugas. Berdasarkan hasil laporan tahunan RSSA Malang (2014), pasien IGD terlantar yang diterima pada setiap tahunnya terus meningkat. Dilema etik sering dialami oleh perawat IGD dalam merawat pasien terlantar dalam fase menjelang ajal yang tidak memiliki identitas. Kesulitan akan timbul pada saat perawat akan mengumpulkan, mengklarifikasikan data riwayat kesehatan pasien, dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan akan tindakan yang akan dilakukan. Fokus perawatan yang diberikan pada fase menjelang ajal adalah End Of Life Care (Forero et al., 2012). Ketidakhadiran keluarga untuk mendampingi pasien, dan tingginya beban kerja perawat yang tidak seimbang dengan banyaknya pasien menyebabkan perawat tidak dapat fokus memberikan pendampingan bagi pasien.
Berdasarkan hasil wawancara dalam studi pendahuluan, perawat menjelaskan bahwa fokus perawatan adalah pasien-pasien yang berada dalam keadaan gawat dan kritis, sedangkan pasien-pasien yang menjelang ajal bukanlah pasien prioritas. Hal ini terkadang menyebabkan perawat merasakan iba pada pasien terlantar yang menjelang ajal karena tidak ada yang mendampingi sehingga kemudian memunculkan dilema etik. Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema etik sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria.


3.2.      Analisa Kasus: Dilema Etik Perawatan Pasien terlantar di IGD

Berdasarkan data dari penelitian Ose (2017) pasien terlantar tanpa keluarga di tangani IGD RSUD dr. Saiful Anwar atau biasa disebut RSSA sebanyak 69 pasien di tahun 2012, 55 pasien di tahun 2013 dan 75 pasien di tahun 2014 dan diperkirakan jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya. Kondisi serupa tentu bukan hanya dialami oleh RSSA saja, banyak rumah sakit lain juga berhadapan dengan kondisi yang sama. Kedatangan pasien terlantar, tanpa keluarga, tanpa penanggung jaawab dan sering tanpa identitas memunculkan dilema tersendiri bagi perawat yang menangani.
Penanganan pada pasien terlantar yang menghadapi ajal ini seharusnya sama dengan pasien – pasien lain. Penerapan konsep triage yang ada di ruang IGD tetap diterapkan. Pasien di skrining sesuai kondisi yang dialami, bisa jadi pasien – pasien menjelang ajal ini berada di label merah dimana kondisinya gawat darurat dan membutuhkan penanganan yang cepat. Kondisi gawat darurat atau dalam emergency severity index (ESI) menyebutnya kasus true emergency merupakan kondisi mengancam nyawa. Bila tidak segera dilakukan penanganan akan menyebabkan kematian atau kecacatan yang fatal pada pasien (Kartikawati, 2015).
Kebutuhan penanganan pasien gawat darurat yang cepat dan tepat sesuai dengan standar yang berlaku merupakan suatu keharusan. Penanganan yang optimal tentu melibatkan proses assesment, penegakan diagnosa dan pemberiaan terapi yang optimal (Kartikawati, 2015). Berbagai penanganan tersebut tentunya membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Pasien terlantar tanpa penanggung jawab akan menimbulkan dilema etik saat pengambilan keputusan terkait penanganan pasien. Berdasarkan PMK No. 903 tahun 2011 menyatakan bahwa masyarakat miskin dan orang – orang terlantar menjadi tanggung jawab negara melalui  Dinas Sosial. Realita di lapangan pasien – pasien terlantar ini sering sekali tiba di IGD pada malam hari atau diluar jam kerja Dinas Sosial. Tentunya dalam penanganan yang dilakukan bila menunggu pihak yang bertanggung jawab akan memakan waktu dan penanganan pasien mengalami keterlambatan.
PMK No. 19 tahun 2016 menyebutkan bahwa penanganan gawat darurat terpadu di tingkat Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan tindakan yang komprehensif dalam pelayanan emergency. Prinsip penanganan dilakukan dengan segera untuk mencegah kematian maupun meminimalkan kecacatan. Perawat yang bertugas di IGD harus melakukan implementasi yang tepat sesuai hasil pemeriksaan. Pengambilan keputusan implementasi pada pasien terlantar ini sering menimbulkan dilema etik. Pasien – pasien terlantar tidak dapat memenuhi kebutuhan sosial dan emosional dengan baik. Berlawanan dengan hal tersebut sebagai manusia mereka tetap mempunyai keinginan untuk diperhatikan di akhir masa hidupnya (Campbell, 2014). Keputusan perawat ini sangat berarti bagi pasien, karena di waktu – waktu terakhir inilah caring nampak nyata.
Profesionalitas perawat dalam menghadapi berbagai konseunsi dan resiko dari tugas dan perannya sangat diuji. Perawat diperhadapkan pada dilema etik pasien terlantar yang menghadapi ajal di IGD dapat merasa sangat tertekan. Pemberian asuhan keperawatan menurut Asmadi (2008) bukan hanya berfokus dalam pengobatan pasien namun juga pada respon bio, psiko, sosial dan kultural dari pasien. Pemberian asuhan keperawatan pada pasien menjelang ajal memberikan tekanan khusus diantaranya perawat dihadapkan pada kenyataan kematian yang akan dialami, menghadapi pasien dengan gejala – gejala yang tidak dapat terobati, menyaksikan duka keluarga, berhadapan dengan masalah etik, ketidaksepahaman dengan disiplin ilmu lain dalam memberikan pelayanan dan ketidakmampuan atau pengalaman dalam merawat pasien sekarat (Campbell,2014).
Campbell (2014) juga menuliskan tekanan yang muncul saat perawat memberikan perawatan pada pasien mendekati ajal berasal dari tempat kerja, dimana tugas yang terlalu banyak, kerja tim yang kurang efisien, ketersediaan ruangan yang kurang dan mobilitas tinggi. Kondisi ini memungkinkan sekali perawat mengalami burnout. Kualitas lingkungan kerja yang tidak baik diikuti dengan dilema – dilema etik yang terus muncul sepanjang pekerjaan akan menurunkan kualitas kerja dari seorang perawat. Penurunan kualitas kerja ditandai dengan emosi perawat yang tidak stabil dan rasa lelah yang teramat sangat (Robbins, 2017). Penurunan kualitas kerja ini membuat perawat menjadi apatis dan mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya sebatas rutinitas.

3.3.      Solusi Etik

1.      Perawat memiliki kemampuan membuat keputusan etik
Konsep keprofesian, keperawatan didasari oleh ilmu pengetahuan dan tanggung jawab yang tinggi dari setiap individu, didasarkan pada kelompok pengetahuan yang kokoh, dapat dipelajari dan diperbaharui melalui penelitian. Selain itu dapat diajarkan melalui suatu proses pendidikan kekhususan, mempunyai suatu organisasi yang kuat dan kohesif dan praktisi-praktisisnya mempunyai sifat altruisme yaitu keinginan untuk menolong orang lain (Citty, 1997). Pada pembuatan keputusan etik dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu social contract and individual rights, obedience and punishment orientation dan maintaining the social order (DPP PPNI, 2017).
Perawat yang memahami etik sebagai suatu keyakinan akan profesi yang dijalani. Aiken (2004) menjelaskan etika adalah deklarasi tentang apa yang benar atau salah dan apa yang seharusnya dilakukan. Dilema etik yang dihadapi perawat khususnya ketika menangani pasien terlantar pada akhir masa hidupnya di ruang IGD ini hampir tidak bisa dihindari. Kemampuan untuk melakukan asuhan keperawatan berpijak pada tahapan tertinggi yaitu social contract and individual rights adalah bagian yang di idam – idamkan. Keperawatan sebagai profesi sudah tertata dengan baik. Aturan – aturan yang berlaku sudah dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Semua bentuk intervensi yang dilakukan bertujuan untuk mensejahterakan pasien dengan beradasarkan pada kontrak – kontrak sosial yang sudah diakui secara hukum (DPP PPNI, 2017).
Kemampuan diatas membuat perawat dapat memilah dengan baik berbagai masalah etik yang mungkin terjadi dalam tugasnya. Diperhadapkan dengan pasien yang terlantar dan menghadapi ajal perawat dapat mengambil keputusan etik yang tetap mengutamakan kesejahteraan pasien. Pada akhir hayatnya pasien end of life (EOL) dapat merasakan caring dari perawat.

2.      Perawat tetap memandang pasien sebagai manusia secara utuh
Keperawatan oleh Zamanzahed, et.al (2015) disebut suatu pelayanan profesional yang meliputi aspek biologi, psikologi, sosial, dan spiritual yang bersifat komprehensif ditunjukkan kepada individu, keluarga, kelompok yang sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia untuk mencapai derajat kesehatan optimal. Undang-Undang Keperawatan No 38 Tahun 2014 juga menjelaskan keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
Perawat yang menyadari tanggung jawab dan peran nya sebagai profesi pemberi layanan secara komprehensif baik pada individu yang sehat maupun sakit akan mampu menyelesaikan dilema yang muncul dengan tepat. Perawat memperhatikan prinsip otonomi (Autonomy) meski pasien EOL dalam keadaan sekarat perawat tidak mengabaikan keinginan individu untuk menentukan pengobatan yang terbaik. Keadilan (Justice), diartikan bahwa perawat kewajiban untuk berlaku adil bagi semua orang. Meskipun pasien merupakan pasien terlantar tanpa keluarga dan penanggung jawab bukan berarti pelayanan yang diberikan akan berbeda dengan pasien lain. Prinsip penanganan kegawat daruratan tetap dilaksanakan.
Fidelity adalah kewajiban individu untuk setia pada komitmen yang dibuat untuk diri sendiri dan yang lain. Pengertian akan konsep ini harus dipertahankan dalam kondisi dilema etik perawat tetap setia terhadap tanggungjawabnya yang tertuang pada sumpah profesi. Beneficence atau kemurahan hari adalah persyaratan yang sangat tua bagi penyedia layanan kesehatan yang melihat tujuan utama perawatan kesehatan adalah melakukan kebaikan untuk pasien yang dirawat. Kemurahan hati ini yang membantu perawat dapat memutuskan dilema etik khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan pasien terlantar.
Selanjutnya adalah nonmaleficence, perawat dalam melakukan tugasnya sebagai bagian dari layanan kesehatan tidak membahayakan mereka pasien, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Pasien EOL dilindungi dari hal – hal yang membahayakan meskipun sebagai pasien terlantar. Kejujuran (veracity) mengharuskan perawat mengatakan yang sebenarnya dan tidak dengan sengaja menipu atau menyesatkan pasien. Dalam dilema etik yang dialami secara praktis perawat dapat tetap memberikan informasi secara jujur pada pasien atau pihak lain yang terkait.
Paternalisme mengacu pada praktik yang membatasi kebebasan individu tanpa memberikan persetujuan. Sikap paternalistik tidak memprioritaskan pilihan atau keinginan individu. Mereka yang bertindak dengan cara paternalistik berasumsi bahwa mereka lebih tahu apa yang baik untuk kondisi selanjutnya. Konsep ini berlaku pada pasien EOL terlantar saat harus melakukan tindakan – tindakan untuk mempertahankan kondisi pasien tetap stabil. Rasionalisme membantu perawat untuk berfikir dan mengambil keputusan secara rasional pada pasien EOL yang terlantar. Mengerti dampak akhir dari pelayanan yang diberikan sehingga keputusan yang diambil tidak memunculkan dilema etik yang baru. Terakhir adalah pragmatisme dimana perawat mengklarifikasi ide secara obyektif melalui pemecahan masalah. Dalam kasus yang terjadi prinsip ini dapat dilakukan dengan rekan sejawat, dokter atau profesional pemberi asuhan lain untuk tetap mempertahankan ke obyektifan keputusan yang diambil (Aiken, 2004).


3.      Regulasi pelayanan untuk menghindari burnout pada perawat
Dilema etik yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pelayanan yang berlaku. Peraturan dalam PMK no. 903 tahun 2011 jelas mengatur bagaimana warga yang tidak mampu termasuk gelandangan mempunyai hak mendapatkan pelayanan yang optimal. Sama seperti pasien pada umumnya, pasien EOL yang terlantar juga harus dilakukan skrining, pengkajian dan intervensi secara menyeluruh.Kebijakan secara nasional maupun daerah akan di kerucutkan lagi menjadi kebijakan yang bersifat internal rumah sakit. Hal ini mengingat kondisi rumah sakit yang berbeda antara satu dengan yang lain. Karakteristik masalah yang dihadapi dan ketersediaan peralatan juga menjadi pertimbangan penting.
Keberadaan regulasi yang jelas ini juga dapat menghindarkan perawat di IGD mengalami burnout. Burnout atau penurunan kualitas kerja dalam suatu organisasi atau pelayanan disebabkan salah satunya peraturan yang tidak jelas (Robbins, 2017). Tidak adanya regulasi dalam bentuk kebijakan, pedoman, panduan hingga SOP di IGD dalam menangani pasien terlantar dengan EOL akan membuat perawat terus menerus bersinggungan dengan dilema etik. Kondisi ini tentu menimbulkan kondisi yang tidak nyaman dalam lingkungan kerja. Bila berlangsung terus – menerus maka penurunan kualitas kerja dari perawat IGD tidak akan terhindarkan.
Hasil uji fenomenologi yang dilakukan Ose (2017) menyebutkan bahwa RSSA sudah memiliki kebijakan sendiri terkait penanganan pasien terlanatar dengan EOL. Rumah sakit tetap memberikan pelayanan yang optimal hanya sebatas pada pelayanan life saving. Pasien tetap merasa dihargai dan memiliki pengalaman yang baik ketika melewati masa akhir hidunya, demikian menurut Campbell (2014). Bila kondisi life saving ini sudah terlewati yang artinya pasien bisa selamat. Maka dalam penanganan selanjutnya pihak RSSA menyerahkan pada pihak pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan isi PMK no. 903 tahun 2011 yang menyatakan orang miskin, gelandangan dan tuna wisma menjadi tanggung jawab pemerintah.

3.4.      Impresi Solusi Etik

Berbagai solusi etik yang dijabarkan diatas tidak mungkin terlaksana dengan optimal tanpa adanya dukungan yang kuat dari organisasi profesi sebagai pembuat dan pengawas terlaksananya kode etik keperawatan. Penekanan dalam penerapan solusi etik dalam menghadapi dilema di area klinik didasarkan atas kemampuan perawat dalam memahami masalah etik yang mungkin terjadi dan dukungan dari organisasi profesi.
Dilema etik yang terjadi memungkinkan munculnya ketidaksepahaman atau perbedaan pendapat antara beberapa pihak. DPP PPNI (2017) menyatakan untuk menyelesaikan ketidaksepahaman tersebut melalui hasill Munas IX dibentuklah MKEK (Majelis Kehormatan Etik Keperawatan). MKEK ini memiliki tugas pokok untuk membina anggota dalam penghayatan dan pengamalan kode etik keperawatan serta membuat pedoman penerapan etik dalam pemberian pelayanan keperawatan dan pedoman penyelesaian sengketa etik dalam pelayanan keperawatan.
MKEK ini memiliki wewenang bersama dewan pengurus PPNI sesuai tingkatnya, memantau perencanaan, proses dan evaluasi pelaksanaan etik keperawatan yang dilakukan oleh setiap perawat dalam pengabdian profesinya yang berada di wilayah, daerah keanggotaan atau lokasi tempat praktiknya masing – masing (DPP PPNI, 2017). Keberadaan MKEK ini dapat membantu perawat dalam memahami dilema etik yang terjadi dan cara mengatasinya. Perawata bergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional dalam membuat keputusan yang etik. Memahami konfrontasi yang mungkin muncul akibat keputusan yang diambil merupakan hal penting dalam menghadapi dilema etik. Pada dasarnya penyelesaian dilema etik ini tidak mengenai benar dan salah (Lachman, 2006).

DAFTAR PUSTAKA



Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. EGC: Jakarta.
Campbell, Margaret L.(2014). Nurse to Nurse: Perawatan Paliatif. Terjemahan oleh Dini Daniaty. Jakarta : Salemba Medika
DPP PPNI.(2017). Pedoman Perilaku sebagai Penjabaran Kode Etik Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
DPP PPNI.(2017). Pedoman Penyelesaian Sengketa Etik Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
Kartikawati, Dewi. (2015). Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Salemba Medika
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 903 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Masyarakat Diakses dari www.http://bandung.bpk.go.id/files/2010/04/2011_Permenkes_903.pdf pada tanggal 25 September 2018
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 19 tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Diakses dari www.http://peraturan.go.id/permen/kemenkes-nomor-19-tahun-2016-tahun-2016.html pada tanggal 25 September 2018
Presiden Republik Indonesia. Undang-undang Keperawatan No 38 Tahun 2014. (2014). Diperoleh dari https://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor%2038%20Tahun%202014.pdf
Robbins, S., & Judge, T. (2017). Organizational behavior. 15th edition. Boston: Pearson.
Zamanzahed, V, Jasemi, M, Valizadeh, Keogh, & Taleghani. (2015). Effective Factors in Providing Holistic Care: A Qualitative Study. Indian J Palliat Care. 2015 May-Aug; 21(2): 214–224. DOI:  10.4103/0973-1075.156506






Kamis, 01 Maret 2018

Budaya Keselamatan Pasien


Guys, pernah kah kalian berkunjug ke Rumah Sakit??? Pernahkan kalian memperhatikan hal - hal kecil contohnya jalur evakuasi, tanda petunjuk jalan, larangan - larangan atau bagaimana sikap para petugasnya? Suatu waktu saya berkunjung ke sebuah Rumah Sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatan saya. Karena antrian yang begitu lama, akhirnya saya menjadi sosok pengamat yang mendetail terhadap setiap hal yang terjadi di sekitar saya.
Pandangan saya tertuju pada seorang ibu muda dan anaknya yang baru berusia 3 tahun duduk di seberang saya. Karena Rumah Sakit yang saya kunjungi termasuk Rumah Sakit elit maka tidak jauh dari tempat saya duduk terdapat eskalator. Kalian pasti tahu, bagaimana polah tingkah anak berusia 3 tahun. Anak itu lari kesana kemari, dan nampak sang ibu sudah mulai kelelahan untuk mengikutinya. Benar saja satu waktu sang ibu lengah, telepon genggam nya nampak berdering dan dia sibuk mencari di dalam tas. Seketika sang anak berlari menuju ke eskalator. Apa yang ada dalam pikiran saya? sungguh sangat buruk. Saya sudah membayangkan akan muncul adegan macam di video - video viral " detik - detik balita terjatuh dari lantai 2" atau "eskalator kembali memakan korban". Rasa nya ingin berteriak tapi suara itu tercegat di tenggorakan saya.
Kisah ini berakhir dengan munculnya tokoh heroik, berseragam, yang langsung menggendong anak umur 3 tahun tadi dan memberikan anak tersebut pada ibu nya. Lega rasanya saya, tidak jadi menjadi saksi mata kejadian menyeramkan. Tokoh berseragam tadi bukan lah security ataupun pihak keamanan Rumah Sakit. Dia adalah petugas rekam medis yang kebetulan lewat di area tersebut karena harus mengantar beberapa berkas ke ruangan pemeriksaan yang ada. "Wah,baik sekali bapak tadi." itu yang ada di dalam pikiran saya. Tapi ternyata kepedulian yang baru saja saya lihat bukan kebetulan semata.
Mulai dari hal kecil, ketika ada pengunjung lain tidak sengaja menumpahkan milktea yang dibawanya. Petugas administrasi dengan segera memasang penanda lantai basah dan segera menelpon (entah kemana) yang jelas tidak lama kemudian petugas kebersihan datang membawa semua perlengkapan nya dan membersihkan tempat tersebut. Sebuah respon yang cepat dan sungguh luar biasa. Singkat cerita selesailah acara periksa memeriksa kesehatan saya. Keluar dari area Rumah Sakit saya membaca tulisan " Budayakan Keselamatan Pasien". Seketika saya tergelitik untuk tahu lebih dalam tentang hal tersebut terkait pengalaman yang saya dapati sore ini.
Budaya Keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar di dalam pelaksanaan keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien (Fleming & Wentzel, 2008). Upaya dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya keselamatan pasien (KKP-RS, 2008). Hal tersebut dikarenakan berfokus pada budaya keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien yang lebih baik dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja (El-Jardali, Dimassi, Jamal, Jaafar, & Hemadeh, 2011).
Budaya keselamatan pasien merupakan pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan kesehatan (Disch, Dreher, Davidson, Sinioris, & Wainio, 2011; NPSA, 2009). Pondasi keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan. Penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat akan menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan (Ilyas, 2004). Rumah sakit harus bisa memastikan penerima pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan kesehatan (Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2008). 

Penerapan keselamatan pasien di rumah sakit dapat mendeteksi resiko yang akan terjadi dan meminimalkan dampaknya terhadap pasien dan petugas kesehatan khususnya perawat. Penerapan keselamatan pasien diharapkan dapat memungkinkan perawat mencegah terjadinya kesalahan kepada pasien saat pemberian layanan kesehatan di rumah sakit. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman pasien yang dirawat di rumah sakit (Armellino, Griffin, & Fitzpatrick, 2010). Pencegahan kesalahan yang akan terjadi tersebut juga dapat menurunkan biaya yang dikeluarkan pasien akibat perpanjangan masa rawat yang mungkin terjadi (Kaufman & McCughan, 2013). Pelayanan yang aman dan nyaman serta berbiaya rendah merupakan ciri dari perbaikan mutu pelayanan. Perbaikan mutu pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan memperkecil terjadinya kesalahan dalam pemberian layanan kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien akan mendeteksi kesalahan yang akan dan telah terjadi (Fujita et al., 2013; Hamdan & Saleem, 2013). Budaya keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan (Jeffs, Law, & Baker, 2007). Hal ini dapat memperbaiki outcome yang dihasilkan oleh rumah sakit tersebut yaitu pelayanan yang membuat rumah sakit tersebut menjadi pilihan utama pasien - pasien nya.
Lalu bagaimana dengan beberapa Rumah Sakit yang belum mencapai budaya keselamatan pasien dengan optimal? Ada beberapa faktor yang menajdi penyebab kenapa budaya keselamatan pasien belum benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit. Pertama, rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu. Kedua, beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat. Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit.
Ketiga, orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari materi atau keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien. Keempat, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh unit terkait contohnya Dinas Kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position Dinas Kesehatan. Kondisi ini sudah mulai diatasi dengan adanya ketentuan akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi Rumah Sakit secara nasional dibawah lembaga independen Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) maupun secara internasional diabwah lembaga Join Commintee International (JCI). Mengharuskan Rumah Sakit memiliki standart mutu pelayanan yang baik salah satunya adalah Budaya Keselamatan Pasien.
Huwaaaa.... jadi belajar banyak sore ini tentang Budaya Keselamatan Pasien. Jadi kalau berkunjung ke Rumah Sakit kita harus patuh sama peraturan yang diterapkan. Bukan untuk mempersulit kita sebagai pengunjung, tapi demi keselamatan kita juga.