Minggu, 15 Juni 2014

kamera DSLR vs CAPRES



Kamera DSLR sekarang ini bukan lagi menjadi barang yang mahal. Dengan berkembangnya dunia elektronik atau yang biasa disebut gaget kamera DSLR sepertinya sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Entah yang memang hobi fotografi, atau memang tuntutan sosial sehingga sudah tidak pantas lagi kalau hanya menjinjing kamera pocket.
Secara pribadi juga terbawa arus dalam dunia yang demikian. Karena tidak sengaja hidup ditengah – tengah teman dan sahabat yang hobi atau memang pekerjaan nya berhubungan dengan fotografi. Tapi kamera DSLR menjadi salah satu incaran manis dari bertahun – tahun silam. Alasan cukup simple, banyak hal dan fenomena di dunia ini yang sangat sayang untuk tidak diabadikan. Semua sisi dan semua bagaian punya kisah dan nilai seni nya sendiri.
Penantian bertahun – tahun  itu pun akhirnya terbayar setelah memantapkan diri untuk membuka tabungan dan menukarnya dengan kamera DSLR. Karena hidup di tengah – tengah orang dengan latar belakang fotografer baik yang professional, amatiran sampai yang ingusan, maka saran dan masukan dari mereka seputar memilih merk kamera DSLR merujuk pada 2 merk ternama. Bukan iklan, saya tidak dapat komisi atau pun royalty atas tulisan ini. Yah, tentunya kita semua sudah akrab dengan Canon dan Nikon. Dua merk yang cukup merajai pasar fotografi akhir – akhir ini karena keunggulan masing – masing.
Pilihan tersulit adalah saat menjatuhkan pilihan untuk memilih 1 diantara 2 merk yang punya spesifikasi dan keunggulan masing – masing. Ketika bertanya pada orang – orang terdekat ternyata tidak menyelesaikan masalah. Karena beberapa teman yang sudah menggeluti dunia fotografi terlebih dahulu memberikan rekomendasi merk sesuai merk yang mereka pakai. Benar saja ketika mereka menggunakan Canon maka mereka akan membeberkan semua kebaikan nya dari a – z dan begitu saya menanyakan bagimana dengan merk Nikon dengan spesifikasi yang sama. Bak sales saja mereka meberikan gambaran tentang kelemahan – kelemahan merk tersebut. Hal ini berlaku juga kebalikannya.
Tidak kurang akal, tentunya kakek kita yang satu ini tahu segalanya. Siapa lagi kalau bukan si embah google. Maka saya googling tentang 2 merk kamera DSLR ini. Tentunya dengan spesifikasi yang sesuai dengan kantong saya. Iya kantong manusia nanggung, baru saja lepas dari gelar mahasiswa dan baru mengarungi dunia persilatan maksudnya dunia pekerjaan. Namun hasil yang didapat sama saja, pada akun – akun pecinta Canon, maka semua keunggulan nya dijelaskan secara mendetail dan yah kekurangan nya dibahas tapi cukup dengan bahasa yang datar. Hal serupa juga saya dapati dari laman – laman penggandrung Nikon. Bahkan ada laman khusus yang membandingkan kehebatan ke duanya. Melihat dari banyak sisi, dari sistem barterainya, kekuatan lensa, optical zoom, kekuatan memori, kualita gambar hingga fitur yang digunakan. Semua dbahas tuntas dan lugas, tapi tetap sama saja untuk awam seperti saya dengan pemaparan panjang lebar macam itu malah membuat saya makin bingung mau pilih yang mana.
Akhirnya, setelah membandingkan harga dan kesesuaian dengan kocek saya. Space harga antara kedua merk ini pun tak berbeda jauh. Pilihan akhirnya dijatuhkan atas dasar rasa mantap dan naluri bahwa 1 diantara 2 merk ternama ini lebih cocok untuk saya. Seorang awam yang mencoba menilai dengan berbagai pertimbangan untuk bisa mendapatkan kamera DSLR terbaik yang di dambakan.
Iklim yang memanas akhir – akhir terkait pemilihan capres dan cawapres 2014 ini mungkin memberikan perasaan yang sama bagi awam seperti ketika saya memilih kamera DSLR. Disuguhi berita tentang kebaikan capres no.1 lalu disuguhi berita capres no.2. Di waktu berikut nya disuguhi rekam jejak yang tidak baik dari capres no.1 lalu disuguhi fakta – fakta pencitraan capres no.2. bahkan ada 2 stasiun TV swasta yang dengan getol dan mati – matian saling menyudutkan. Fenomena ini membuat beberapa bapak dan ibu di rumah juga memanas. Pasal nya dengan dalih melihat perkembangan pilpres terkini para bapak menonton berita. Hasilnya sang bapak itu akan mengumpat sendiri atau dengan heboh mengagung – agungkan capres yang diberitakannya. Jelas hal ini membuat para ibu mulai bosan dan mengganti channel melihat sinetron. Namun sama saja drama juga yang ditayangkan sehingga efek yang muncul adalah saling berebut (belum ditambah demam piala dunia-red).
Dihadapkan pada pilhan yang sebenarnya tidak sulit, karena saya yakin setiap orang sudah punya tokoh unggulannya. Saya yakin mereka punya pemikiran sendiri saat menjatuhkan pilihan. Sudah menimbang dan dengan akal sehat tanpa paksaan (apa pula kalimat ini.. heheheh). Namun opini yang muncul di public membuat orang awam macam saya ini kerombang – ambing dalam tekanan media sosial yang semakin jahat. Ya, tentu saja karena permainan persepsi sebagian orang yang mencoba mempengaruhi orang awam macam saya ini yang akhirnya menghiperbola kan kabar – kabar yang sebenarnya wajar menjadi seolah tidak wajar dan bahkan menjijikan.
Sama seperti teman – teman saya yang sudah terlanjur fanatic dengan salah satu merk DSLR. Sehingga ketika mereka membagikan ilmu nya kepada saya seolah seperti sales bagi slah satu produk padahal mereka tidka dibayar sepeserpun oleh perusahaan tesebut. Kembali menurut teman saya yang orang PR (public relationship) inilah yang dimanakan public marketing. Membuat suatu opini public agar orang tertarik pada produk yang ditawarkan. Saya rasa ini sama dengan para capres yang sedang “memarketingkan” diri mereka masing – masing agar laku di psar pilpres tgl 9 Juli 2014 kelak.
Memilih kamera DSLR saja saya berfikir panjang, tentunya dalam memilih preseiden juga harus demikian. Mungkin akan muncul pikiran skeptis tentang pilpres ini sama hal nya dengan memilih kamera DSLR. “Halah, cuma kamera aja kok ribut. Semua sama yang penting bisa jepret foto.” Itu ungkapan salah satu teman (juga) yang memang tidak terlalu suka dunia fotografi. Tentu kaget mendengarnya, meski saya ini pemula dan sangat amatir. Tapi tentu dalam membeli barang saya tidak ingin “keblondrok” (ungkapan jawa, salah memilih barang kualitasnya buruk tapi harga nya mahal). Meski baru belajar dengan DSLR tentu ingin belajar menggunakan DSLR yang bagus sehingga pada waktunya nanti bisa pakai DSLR dengan type yang lebih tinggi dan benar – benar memahami penggunaanya. Ibarat kata pake kamera DSLR tapi tidak hanya bisa autofocus.
Pandangan demikian juga muncul dalam pilpres. Ada satu broadcast yang menuliskan “siapa pun presidennya nanti toh kita tetap harus kerja untuk mengisi perut kita sendiri”. Entah dari sapa mula nya tulisan ini tapi ini menyebar cukup cepat diantara mengguna media sosial. Saya merasa bodoh dengan pemikiran itu. Jelas saja siapapun yang jadi presiden mereka punya hak membuat kebijakan, entah ini menaikan atau menurunkan gaji, mengubah standart UMR atau bahkan menghapuskan sistem out sourcing. Belum lagi kebijkan import beras, import BBM, kebijakan pajak yang akhirnya akan berpengaruh pada pemasukan dan pengeluaran kita. Jadi secara langsung dan tidak langsung siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan berdampak pada hidup kita.
Memilih berdasarkan keyakinan dan kemantapan bahwa sang capres akan memberikan kondisi yang jauh lebih baik. Hal itu kembali ke hati kita masing – masing, karena sama seperti saya akhirnya memilih salah satu merk DSLR maka kita juga seharusnya demikian dalam pilpres ini. Ketika saya menjatuhkan piiihan pada salah satu merk kamera DSLR tentu kamera dengan merk tesebut punya banyak keunggulan namun juga punya kelemahan. Tidak ada hal yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Jadi kalau kita mencari presiden yang setengah dewa tentu tidak ada. Mereka semua punya kelemahan, tidak semua hal yang mereka sampaikan dalam debat itu sesuai pemikiran mereka. Ada tim sukses dan tim ahli yang dipersiapkan untuk menggodok setiap materi yang mereka bawakan dalam debat. Saya rasa teman – teman mahasiswa yang biasa ikut lomba debat sangat mengerti hal ini. Itu juga yang mungkin tidak diketahui banyak awam macam kita.
Saya sendiri bagaimana? Saya mendukung siapa? Beberapa waktu lalu saya pernah menulis di akun pribadi saya : “kalau ada capres yg berkomitmen men-sah kan RUU Keperawatan maksimal 6 bulan setelah terpilih... yakin aku pilih dia.... — bersama Ners Harmoko dan 7 lainnya.” Jadi inilah jawaban saya kepada siapa pilihan akan saya jatuhkan. Dan sejauh ini belum ada satupun capres yang menyatakan dukungannya pada RUU Keperawatan yang masih tidak jelas nasib nya. Mengapa RUU Keperawatan, karena inilah legalita yang kami (perawat) butuhkan. Bukan hanya kenaikan gaji saja, tapi kami perlu regulasi yang jelas. Silahkan rekan – rekan perawat melihat seberapa banyak STR (surat tanda register atau dulu SIP surat ijin perawat) yang tidak jelas dan belum jadi. Padahal itu syarat kita untuk bisa merawat, ibarat pengendara itulah SIM kita. Itu karena kita tidak punya council tidak sama seperti bapak dan ibu dokter yang punya UU sendiri dan council sendiri sehingga STR beliau – beliau nya dalam  minggu dan paling lama  bulan sudah jadi.
Dan inilah kita sebagai awam, mengembalikan segala pilihan pada hati dan pikiran kita. Entah apapun tendensi dan tujuan kita, tapi meski berada di tengah berbagai asumsi golput bukan pilihan terbaik sobat.