Kamera DSLR sekarang ini bukan lagi menjadi barang
yang mahal. Dengan berkembangnya dunia elektronik atau yang biasa disebut gaget
kamera DSLR sepertinya sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Entah yang memang
hobi fotografi, atau memang tuntutan sosial sehingga sudah tidak pantas lagi
kalau hanya menjinjing kamera pocket.
Secara pribadi juga terbawa arus dalam dunia yang
demikian. Karena tidak sengaja hidup ditengah – tengah teman dan sahabat yang
hobi atau memang pekerjaan nya berhubungan dengan fotografi. Tapi kamera DSLR
menjadi salah satu incaran manis dari bertahun – tahun silam. Alasan cukup simple,
banyak hal dan fenomena di dunia ini yang sangat sayang untuk tidak diabadikan.
Semua sisi dan semua bagaian punya kisah dan nilai seni nya sendiri.
Penantian bertahun – tahun itu pun akhirnya terbayar setelah memantapkan
diri untuk membuka tabungan dan menukarnya dengan kamera DSLR. Karena hidup di
tengah – tengah orang dengan latar belakang fotografer baik yang professional,
amatiran sampai yang ingusan, maka saran dan masukan dari mereka seputar memilih
merk kamera DSLR merujuk pada 2 merk ternama. Bukan iklan, saya tidak dapat
komisi atau pun royalty atas tulisan ini. Yah, tentunya kita semua sudah akrab
dengan Canon dan Nikon. Dua merk yang cukup merajai pasar fotografi akhir – akhir ini
karena keunggulan masing – masing.
Pilihan tersulit adalah saat menjatuhkan pilihan
untuk memilih 1 diantara 2 merk yang punya spesifikasi dan keunggulan masing –
masing. Ketika bertanya pada orang – orang terdekat ternyata tidak
menyelesaikan masalah. Karena beberapa teman yang sudah menggeluti dunia fotografi
terlebih dahulu memberikan rekomendasi merk sesuai merk yang mereka pakai. Benar
saja ketika mereka menggunakan Canon
maka mereka akan membeberkan semua kebaikan nya dari a – z dan begitu saya
menanyakan bagimana dengan merk Nikon
dengan spesifikasi yang sama. Bak sales saja mereka meberikan gambaran tentang
kelemahan – kelemahan merk tersebut. Hal ini berlaku juga kebalikannya.
Tidak kurang akal, tentunya kakek kita yang satu
ini tahu segalanya. Siapa lagi kalau bukan si embah google. Maka saya googling
tentang 2 merk kamera DSLR ini. Tentunya dengan spesifikasi yang sesuai dengan
kantong saya. Iya kantong manusia nanggung, baru saja lepas dari gelar
mahasiswa dan baru mengarungi dunia persilatan maksudnya dunia pekerjaan. Namun
hasil yang didapat sama saja, pada akun – akun pecinta Canon, maka semua keunggulan nya dijelaskan secara mendetail dan
yah kekurangan nya dibahas tapi cukup dengan bahasa yang datar. Hal serupa juga
saya dapati dari laman – laman penggandrung Nikon.
Bahkan ada laman khusus yang membandingkan kehebatan ke duanya. Melihat dari
banyak sisi, dari sistem barterainya, kekuatan lensa, optical zoom, kekuatan
memori, kualita gambar hingga fitur yang digunakan. Semua dbahas tuntas dan
lugas, tapi tetap sama saja untuk awam seperti saya dengan pemaparan panjang
lebar macam itu malah membuat saya makin bingung mau pilih yang mana.
Akhirnya, setelah membandingkan harga dan
kesesuaian dengan kocek saya. Space harga
antara kedua merk ini pun tak berbeda jauh. Pilihan akhirnya dijatuhkan atas
dasar rasa mantap dan naluri bahwa 1 diantara 2 merk ternama ini lebih cocok
untuk saya. Seorang awam yang mencoba menilai dengan berbagai pertimbangan
untuk bisa mendapatkan kamera DSLR terbaik yang di dambakan.
Iklim yang memanas akhir – akhir terkait pemilihan
capres dan cawapres 2014 ini mungkin memberikan perasaan yang sama bagi awam seperti
ketika saya memilih kamera DSLR. Disuguhi berita tentang kebaikan capres no.1
lalu disuguhi berita capres no.2. Di waktu berikut nya disuguhi rekam jejak
yang tidak baik dari capres no.1 lalu disuguhi fakta – fakta pencitraan capres
no.2. bahkan ada 2 stasiun TV swasta yang dengan getol dan mati – matian saling
menyudutkan. Fenomena ini membuat beberapa bapak dan ibu di rumah juga memanas.
Pasal nya dengan dalih melihat perkembangan pilpres terkini para bapak menonton
berita. Hasilnya sang bapak itu akan mengumpat sendiri atau dengan heboh
mengagung – agungkan capres yang diberitakannya. Jelas hal ini membuat para ibu
mulai bosan dan mengganti channel melihat sinetron. Namun sama saja drama juga
yang ditayangkan sehingga efek yang muncul adalah saling berebut (belum
ditambah demam piala dunia-red).
Dihadapkan pada pilhan yang sebenarnya tidak sulit,
karena saya yakin setiap orang sudah punya tokoh unggulannya. Saya yakin mereka
punya pemikiran sendiri saat menjatuhkan pilihan. Sudah menimbang dan dengan
akal sehat tanpa paksaan (apa pula kalimat ini.. heheheh). Namun opini yang
muncul di public membuat orang awam macam saya ini kerombang – ambing dalam
tekanan media sosial yang semakin jahat. Ya, tentu saja karena permainan
persepsi sebagian orang yang mencoba mempengaruhi orang awam macam saya ini
yang akhirnya menghiperbola kan kabar – kabar yang sebenarnya wajar menjadi seolah
tidak wajar dan bahkan menjijikan.
Sama seperti teman – teman saya yang sudah
terlanjur fanatic dengan salah satu merk DSLR. Sehingga ketika mereka
membagikan ilmu nya kepada saya seolah seperti sales bagi slah satu produk
padahal mereka tidka dibayar sepeserpun oleh perusahaan tesebut. Kembali menurut
teman saya yang orang PR (public
relationship) inilah yang dimanakan public marketing. Membuat suatu opini
public agar orang tertarik pada produk yang ditawarkan. Saya rasa ini sama
dengan para capres yang sedang “memarketingkan” diri mereka masing – masing agar
laku di psar pilpres tgl 9 Juli 2014 kelak.
Memilih kamera DSLR saja saya berfikir panjang,
tentunya dalam memilih preseiden juga harus demikian. Mungkin akan muncul
pikiran skeptis tentang pilpres ini sama hal nya dengan memilih kamera DSLR. “Halah,
cuma kamera aja kok ribut. Semua sama yang penting bisa jepret foto.” Itu ungkapan
salah satu teman (juga) yang memang tidak terlalu suka dunia fotografi. Tentu kaget
mendengarnya, meski saya ini pemula dan sangat amatir. Tapi tentu dalam membeli
barang saya tidak ingin “keblondrok”
(ungkapan jawa, salah memilih barang kualitasnya buruk tapi harga nya mahal). Meski
baru belajar dengan DSLR tentu ingin belajar menggunakan DSLR yang bagus
sehingga pada waktunya nanti bisa pakai DSLR dengan type yang lebih tinggi dan
benar – benar memahami penggunaanya. Ibarat kata pake kamera DSLR tapi tidak hanya
bisa autofocus.
Pandangan demikian juga muncul dalam pilpres. Ada satu
broadcast yang menuliskan “siapa pun
presidennya nanti toh kita tetap harus kerja untuk mengisi perut kita sendiri”.
Entah dari sapa mula nya tulisan ini tapi ini menyebar cukup cepat diantara
mengguna media sosial. Saya merasa bodoh dengan pemikiran itu. Jelas saja
siapapun yang jadi presiden mereka punya hak membuat kebijakan, entah ini
menaikan atau menurunkan gaji, mengubah standart UMR atau bahkan menghapuskan
sistem out sourcing. Belum lagi
kebijkan import beras, import BBM, kebijakan pajak yang akhirnya akan
berpengaruh pada pemasukan dan pengeluaran kita. Jadi secara langsung dan tidak
langsung siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan berdampak pada hidup
kita.
Memilih berdasarkan keyakinan dan kemantapan bahwa
sang capres akan memberikan kondisi yang jauh lebih baik. Hal itu kembali ke
hati kita masing – masing, karena sama seperti saya akhirnya memilih salah satu
merk DSLR maka kita juga seharusnya demikian dalam pilpres ini. Ketika saya
menjatuhkan piiihan pada salah satu merk kamera DSLR tentu kamera dengan merk
tesebut punya banyak keunggulan namun juga punya kelemahan. Tidak ada hal yang
sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Jadi kalau
kita mencari presiden yang setengah dewa tentu tidak ada. Mereka semua punya
kelemahan, tidak semua hal yang mereka sampaikan dalam debat itu sesuai
pemikiran mereka. Ada tim sukses dan tim ahli yang dipersiapkan untuk menggodok
setiap materi yang mereka bawakan dalam debat. Saya rasa teman – teman mahasiswa
yang biasa ikut lomba debat sangat mengerti hal ini. Itu juga yang mungkin
tidak diketahui banyak awam macam kita.
Saya sendiri bagaimana? Saya mendukung siapa? Beberapa
waktu lalu saya pernah menulis di akun pribadi saya : “kalau ada capres yg berkomitmen men-sah kan RUU Keperawatan
maksimal 6 bulan setelah terpilih... yakin aku pilih dia.... — bersama Ners
Harmoko dan 7 lainnya.” Jadi
inilah jawaban saya kepada siapa pilihan akan saya jatuhkan. Dan sejauh ini
belum ada satupun capres yang menyatakan dukungannya pada RUU Keperawatan yang
masih tidak jelas nasib nya. Mengapa RUU Keperawatan, karena inilah legalita
yang kami (perawat) butuhkan. Bukan hanya kenaikan gaji saja, tapi kami perlu
regulasi yang jelas. Silahkan rekan – rekan perawat melihat seberapa banyak STR
(surat tanda register atau dulu SIP surat ijin perawat) yang tidak jelas dan
belum jadi. Padahal itu syarat kita untuk bisa merawat, ibarat pengendara
itulah SIM kita. Itu karena kita tidak punya council tidak sama seperti bapak
dan ibu dokter yang punya UU sendiri dan council sendiri sehingga STR beliau –
beliau nya dalam minggu dan paling
lama bulan sudah jadi.
Dan inilah kita
sebagai awam, mengembalikan segala pilihan pada hati dan pikiran kita. Entah apapun
tendensi dan tujuan kita, tapi meski berada di tengah berbagai asumsi golput
bukan pilihan terbaik sobat.