Seolah menjadi
orang yang tidak peduli lagi, mungkin itu perasaan yang saya rasakan setelah
beberapa bulan terakhir ini lebih sibuk dengan rutinitas pekerjaan. Setiap bulan
memang menyempatkan diri untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Masuk dalam tim
posyandu lansia membuat saya tidak kehilangan sisi kemanusiaan. Yang terkadang
hilang bukan karena kesombongan atau rasa tidak peduli namun lebih karena waktu
yang tersita untuk diri sendiri.
Negeri kita
tercinta, Indonesia Raya sedang dirundung musibah. Mengapa tidak, beberapa buln
terakhir ini ada saja bencana yang datang silih berganti. Layaknya berita
infotaiment yang juga silih berganti dari kasus perceraian yang satu ke kasus
perceraian yang lain. Beberapa orang mungkin berpendapat bukan beberapa bulan
yang lalu aja. Tapi memang tahun – tahun ini bencana rasanya tidak pernah absen
dari negeri merah putih ini.
Erupsi Gunung
Sinabung, ini bencana yang lumayan bertahan lama. Dan melihat bahwa memang
masyarakat kita yang hidup di negara gemah ripah loh jinawi ini tidak cukup
siap menghadapi gejolak alam. Dengan negara yang memiliki area pertemuan
lempeng bumi dengan gugusan gunung api terbesar dan dikelilingi 2 samudra
besar. Seharusnya sedari kecil kita sudah mawas. Sudah dibekali kemampuan untuk
bisa melakukan penyelamatan diri sendiri minimal ketika ada bencana. Namun bisa
dipastikan hanya sedikit dari kita yang mampu bertindak dengan tenang dan tepat
saat bencana datang. Saya sendiri tidak yakin saya mampu melakukannya.
Kecolongan
mungkin itu yang bisa saya simpulkan karena akibat awan panas Sinabung ada 17
orang yang meninggal dunia. Angka yg relatif kecil dibanding dengan korban awan
panas atau “wedus gembel” Merapi 2010. Karena sebenarnya sudah diberikan
peringatan dan tim relawan jauh lebih sigap karena sudah banyak belajar dari
kasus Merapi. Kejadian yang tidak diharapkan ke 17 korban meninggal dikarenakan
melanggar batas zona merah, yaitu zona berbahaya. Dan jika mau flashback ke
tahun 2010, korban meninggal yg terkena “wedus gembel” karena tidak mau
mengungsi atau mengira kondisi sudah baik lalu kembali kerumahnya. Beberapa tak
sempat melarikan diri saat dikejar sang awan panas.
Di bulan kasih sayang
ini (katanya beberapa orang sih), kembali di perhadapkan dengan fenomena alam
yg cukup mencekam. Setelah kurang lebih 1 bulan berkutat dengan air yang
menggenang kini saat nya abu vulkanik yang menemani keseharian. Tepat semalam
pukul 22.50 (kurang lebih) Gunung Kelud di Kediri Jawa Barat meletus. Cukup mengagetkan
karena suara dentuman yg hebat dan gempa nya terasa hingga Solo Jawa Tengah. Pagi
ini abu vulkanik nya cukup membuat 7 bandara di tutup dan jarak pandang
kendaraan bermotor hanya 5 meter di beberapa daerah khususnya area sekitar Solo
dan Yogyakarta.
Semalam sempat
kontak dengan salah satu kakak di sana. Hanya pesan singkat saja “disini udah
nggak karuan,hujan batu” itu sudah cukup menggambarkan kondisi Kediri yang ada
di kaki Gunung Kelud semalam seperti apa. Betapa panik dan bingungnya
masyarakat sana. Beberapa juga tentu kaget karena kejadian di tengah malam,
saatnya orang istirahat. Respon yang wajar terjadi saat menghadapi bencana. Ketakutan
dan kecemasan itu tentu selalu ada. Jauh – jauh hari memang sudah di sampaikan
tentang status bencana yang akan terjadi di sekitar area Gunung Kelud. Warga juga
sudah disiapkan secara akomodasi, transportasi bahkan jalur evakuasi.
Seperti petang
itu, 4 November 2010 suatu kesempatan yang sungguh luar biasa. Bisa menjadi
bagian dari tim relawan Merapi. 21 orang mahasiswa dengan 3 orang dosen,
tepisah di beberapa posko pengungsian. Dari yang berjarak 8 km dari puncak
Merapi hingga 25 km dari puncak merapi. Semua berjalan biasa saja, memberikan
obat, membantu dapur umum dan mendistribusikan bantuan. Sampai akhirnya Merapi
meletus. Gempa yang cukup besar terasa, diikuti tremor2 kecil semalaman. Hujan batu
kerikil sudah tidak bisa terhindari. Pukul 20.00 WIB sirine berbunyi dimana –
dimana, listrik padam, semua orang berusaha menyelamatkan diri. Hanya ada kat
aberserah kala itu, karena kalo memang harus berpulang mungkin itu cara terbaik
berpulang dalam keadaan memberikan pelayanan pada sesama.
Bahkan perjalanan
menuju ke area pengungsian sudah diwarnai rasa khawatir yang luar biasa. Memasuki
kota Magelang kala itu, semua penuh abu vulkanik. Dimana – mana hanya terlihat
debu yang menempel. Hampir tidak ada tnada – tanda kehidupan. Magelang kala itu
bak kota mati. Hujan yang turun pun bukan air, karena begitu pekatnya material
yang ada di atas sana hujan yang turun adalah hujan lumpur. Air yang menetes
berwarna hitam kecoklatan. Khas warna abu yang terkena air. Dan siang ini hal
serupa kembali berulang. Serasa seperti di kembalikan pada ingatan kala itu.
Abu vulkanik Gunung
Kelud yang menyebar ke bagian barat dan utara ini saya rasa cukup adil. Tuhan
mengajarkan kita untuk ikut peduli, ikut merasakan beban yang melanda saudara –
saudara kita yang ada di lereng Gunung Kelud. Langit yang seolah murung, tak
menampakan keceriaan akhir musim penghujan ini juga membuat rasa cemas dan was –
was menyebar hampir diseluruh plosok pulau Jawa. Seharian ini berjalan bersama abu vulkanik,
merelakan kendaraan yang kita pakai menjadi kotor dan memakai masker saat
keluar ruangan. Peringatan yang cukup menohok karena mungkin Tuhan sudah mulai
bosan dengan ucapan ampun kita namun tidak ada perubahan.
Suka atau tidak
suka, siap atau tidak siap sebagai warna negara dengan gugusan gunung api
terbanyak di dunia kita harus siap behadapan dengan abu vulkanik. Mengerti bahwa
semua ada dalam kuasaNya. Abu tersebut bisa terbawa ke kota lain yang bermil –
mil jauhnya. Abu tersebut juga mampu melmpuhkan perekonomian setempat. Bahkan transportasi
terganggu dengan kondisi tersebut. Sinyal telepon seluler dan listrik pun
terbatas. Lihat, kemegahan yang kita bangun (walaupun dengan uang utang ke IMF)
semua bisa lenyap begitu saja dalam murka Nya.
Lalu masih
bisakan=h kita menyombongkan diri? Dan masih bisakah kita dengan congkak
memamerkan harta dan semua hal yang kita miliki. Bencana seperi ini seharusnya
membuat kita lebih mawas diri. Menyadari kekurangan diri dan selalu berserah
pada Kuasa yang Maha Suci. Tuhan juga ingin kita lebih peduli, tidak terkotak
dalam titik nyaman kita sendiri. Mencoba melhat keluar memperhatikan sesame yang
membutuhkan. Dan seahrusnya itu kita kerjakan bukan hanya setelah ada bencana
besar macam ini. Seharusnya itulah gaya hidup kita.
Kepedulian dan
kepekaan akan kondisi sesame memang membutuhkan tenaga ekstra. Namun mempercayai
bahwa sumber dari segala sumber tenaga menyertai keseharian kita. Tidak ada
lagi alasan untuk eksklusif dan hedonis lagi. Mungkin anak – anak gaul sekarang
menyebutnya selfie. Kita yang memiliki kepedulian dan kepekaan ini akan sangat
berarti bagi mereka yang merasa takut dan sendirian. Sudah seharusnya kita
mampu melangkah melewati hari bersama Abu Vulkanik. Tidak perlu takut ataupun
gentar karena perlindungan Tuhan itu nyata. Dan dengan saling peduli kita dapat
saling menanggung beban saudara – saudara kita.