Jumat, 14 Februari 2014

BERJALAN DI TENGAH ABU VULKANIK



Seolah menjadi orang yang tidak peduli lagi, mungkin itu perasaan yang saya rasakan setelah beberapa bulan terakhir ini lebih sibuk dengan rutinitas pekerjaan. Setiap bulan memang menyempatkan diri untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Masuk dalam tim posyandu lansia membuat saya tidak kehilangan sisi kemanusiaan. Yang terkadang hilang bukan karena kesombongan atau rasa tidak peduli namun lebih karena waktu yang tersita untuk diri sendiri.
Negeri kita tercinta, Indonesia Raya sedang dirundung musibah. Mengapa tidak, beberapa buln terakhir ini ada saja bencana yang datang silih berganti. Layaknya berita infotaiment yang juga silih berganti dari kasus perceraian yang satu ke kasus perceraian yang lain. Beberapa orang mungkin berpendapat bukan beberapa bulan yang lalu aja. Tapi memang tahun – tahun ini bencana rasanya tidak pernah absen dari negeri merah putih ini.
Erupsi Gunung Sinabung, ini bencana yang lumayan bertahan lama. Dan melihat bahwa memang masyarakat kita yang hidup di negara gemah ripah loh jinawi ini tidak cukup siap menghadapi gejolak alam. Dengan negara yang memiliki area pertemuan lempeng bumi dengan gugusan gunung api terbesar dan dikelilingi 2 samudra besar. Seharusnya sedari kecil kita sudah mawas. Sudah dibekali kemampuan untuk bisa melakukan penyelamatan diri sendiri minimal ketika ada bencana. Namun bisa dipastikan hanya sedikit dari kita yang mampu bertindak dengan tenang dan tepat saat bencana datang. Saya sendiri tidak yakin saya mampu melakukannya.
Kecolongan mungkin itu yang bisa saya simpulkan karena akibat awan panas Sinabung ada 17 orang yang meninggal dunia. Angka yg relatif kecil dibanding dengan korban awan panas atau “wedus gembel” Merapi 2010. Karena sebenarnya sudah diberikan peringatan dan tim relawan jauh lebih sigap karena sudah banyak belajar dari kasus Merapi. Kejadian yang tidak diharapkan ke 17 korban meninggal dikarenakan melanggar batas zona merah, yaitu zona berbahaya. Dan jika mau flashback ke tahun 2010, korban meninggal yg terkena “wedus gembel” karena tidak mau mengungsi atau mengira kondisi sudah baik lalu kembali kerumahnya. Beberapa tak sempat melarikan diri saat dikejar sang awan panas.
Di bulan kasih sayang ini (katanya beberapa orang sih), kembali di perhadapkan dengan fenomena alam yg cukup mencekam. Setelah kurang lebih 1 bulan berkutat dengan air yang menggenang kini saat nya abu vulkanik yang menemani keseharian. Tepat semalam pukul 22.50 (kurang lebih) Gunung Kelud di Kediri Jawa Barat meletus. Cukup mengagetkan karena suara dentuman yg hebat dan gempa nya terasa hingga Solo Jawa Tengah. Pagi ini abu vulkanik nya cukup membuat 7 bandara di tutup dan jarak pandang kendaraan bermotor hanya 5 meter di beberapa daerah khususnya area sekitar Solo dan Yogyakarta.
Semalam sempat kontak dengan salah satu kakak di sana. Hanya pesan singkat saja “disini udah nggak karuan,hujan batu” itu sudah cukup menggambarkan kondisi Kediri yang ada di kaki Gunung Kelud semalam seperti apa. Betapa panik dan bingungnya masyarakat sana. Beberapa juga tentu kaget karena kejadian di tengah malam, saatnya orang istirahat. Respon yang wajar terjadi saat menghadapi bencana. Ketakutan dan kecemasan itu tentu selalu ada. Jauh – jauh hari memang sudah di sampaikan tentang status bencana yang akan terjadi di sekitar area Gunung Kelud. Warga juga sudah disiapkan secara akomodasi, transportasi bahkan jalur evakuasi.
Seperti petang itu, 4 November 2010 suatu kesempatan yang sungguh luar biasa. Bisa menjadi bagian dari tim relawan Merapi. 21 orang mahasiswa dengan 3 orang dosen, tepisah di beberapa posko pengungsian. Dari yang berjarak 8 km dari puncak Merapi hingga 25 km dari puncak merapi. Semua berjalan biasa saja, memberikan obat, membantu dapur umum dan mendistribusikan bantuan. Sampai akhirnya Merapi meletus. Gempa yang cukup besar terasa, diikuti tremor2 kecil semalaman. Hujan batu kerikil sudah tidak bisa terhindari. Pukul 20.00 WIB sirine berbunyi dimana – dimana, listrik padam, semua orang berusaha menyelamatkan diri. Hanya ada kat aberserah kala itu, karena kalo memang harus berpulang mungkin itu cara terbaik berpulang dalam keadaan memberikan pelayanan pada sesama.
Bahkan perjalanan menuju ke area pengungsian sudah diwarnai rasa khawatir yang luar biasa. Memasuki kota Magelang kala itu, semua penuh abu vulkanik. Dimana – mana hanya terlihat debu yang menempel. Hampir tidak ada tnada – tanda kehidupan. Magelang kala itu bak kota mati. Hujan yang turun pun bukan air, karena begitu pekatnya material yang ada di atas sana hujan yang turun adalah hujan lumpur. Air yang menetes berwarna hitam kecoklatan. Khas warna abu yang terkena air. Dan siang ini hal serupa kembali berulang. Serasa seperti di kembalikan pada ingatan kala itu.
Abu vulkanik Gunung Kelud yang menyebar ke bagian barat dan utara ini saya rasa cukup adil. Tuhan mengajarkan kita untuk ikut peduli, ikut merasakan beban yang melanda saudara – saudara kita yang ada di lereng Gunung Kelud. Langit yang seolah murung, tak menampakan keceriaan akhir musim penghujan ini juga membuat rasa cemas dan was – was menyebar hampir diseluruh plosok pulau Jawa.  Seharian ini berjalan bersama abu vulkanik, merelakan kendaraan yang kita pakai menjadi kotor dan memakai masker saat keluar ruangan. Peringatan yang cukup menohok karena mungkin Tuhan sudah mulai bosan dengan ucapan ampun kita namun tidak ada perubahan.
Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap sebagai warna negara dengan gugusan gunung api terbanyak di dunia kita harus siap behadapan dengan abu vulkanik. Mengerti bahwa semua ada dalam kuasaNya. Abu tersebut bisa terbawa ke kota lain yang bermil – mil jauhnya. Abu tersebut juga mampu melmpuhkan perekonomian setempat. Bahkan transportasi terganggu dengan kondisi tersebut. Sinyal telepon seluler dan listrik pun terbatas. Lihat, kemegahan yang kita bangun (walaupun dengan uang utang ke IMF) semua bisa lenyap begitu saja dalam murka Nya.
Lalu masih bisakan=h kita menyombongkan diri? Dan masih bisakah kita dengan congkak memamerkan harta dan semua hal yang kita miliki. Bencana seperi ini seharusnya membuat kita lebih mawas diri. Menyadari kekurangan diri dan selalu berserah pada Kuasa yang Maha Suci. Tuhan juga ingin kita lebih peduli, tidak terkotak dalam titik nyaman kita sendiri. Mencoba melhat keluar memperhatikan sesame yang membutuhkan. Dan seahrusnya itu kita kerjakan bukan hanya setelah ada bencana besar macam ini. Seharusnya itulah gaya hidup kita.
Kepedulian dan kepekaan akan kondisi sesame memang membutuhkan tenaga ekstra. Namun mempercayai bahwa sumber dari segala sumber tenaga menyertai keseharian kita. Tidak ada lagi alasan untuk eksklusif dan hedonis lagi. Mungkin anak – anak gaul sekarang menyebutnya selfie. Kita yang memiliki kepedulian dan kepekaan ini akan sangat berarti bagi mereka yang merasa takut dan sendirian. Sudah seharusnya kita mampu melangkah melewati hari bersama Abu Vulkanik. Tidak perlu takut ataupun gentar karena perlindungan Tuhan itu nyata. Dan dengan saling peduli kita dapat saling menanggung beban saudara – saudara kita.